Berbalik 38

149 11 0
                                    

"Tak ada yang benar-benar selamanya."

◾◾◾

Anson hanya diam di tempat duduknya. Bertumpuk kertas di atas mejanya tak lagi dipedulikannya. Melepas kacamata bacanya, Anson memijat pelan kepalanya yang semakin berdenyut, bahkan sesekali lelaki itu bersin.

Dia tak pernah cocok dengan hujan.

Akhirnya, Anson bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah pelan ke jendela besar yang menampilkan pemandangan kota pada saat malam. Anson tak pernah lupa, gadis dengan iris kelam itu sangat menyukai malam, terutama bintang. Masihkah gadis itu adalah gadis yang sama?

Satu kesimpulan yang secara gamblang didapatinya. Gadis luar biasa itu kini membencinya.

Lupakah kamu bahwa kamu memintanya untuk membencimu dengan semua rasa benci yang dipunya?
Gadis itu telah tumbuh menjadi perempuan dengan senyum manis yang sejak dulu menjadi candu untuknya. Sifatnya masih sama, pendiam namun terang-terangan. Penampilannya menjadi lebih dewasa, dan Anson selalu menanti masa di mana lelaki itu akan berjalan beriringan dengan gadis itu di koridor kampus, atau menunggu gadisnya selesai dengan kuliahnya, agar mereka bisa pergi atau makan bersama.

Namun bayang imajinasinya lebur, seiring dengan wajah sendu dengan air mata sang gadis. Lagi, Anson membuatnya terluka.

Ini bukan salah Ayahnya, bukan pula salah siapa pun. Tak sedikit pun Anson berfikir bahwa semua ini karena Ayahnya, meski harus diakui bahwa Anson pernah sangat membenci Ayahnya dulu.

Sejak tiga tahun yang lalu, Ayahnya mencoba untuk tidak lagi memukul, menghina, dan menatap remeh dirinya. Meski terasa canggung dan sulit, anak dan ayah itu perlahan mulai membangun hubungan baru.

Anson akui sulit untuk memulai sesuatu yang bahkan tak disukainya, namun perlahan lelaki itu sadar, Ayahnya telah berjuangan sangat keras untuk perusahaan ini.

Banyak karyawan yang menggantungkan biaya hidupnya dengan bekerja di perusahaan ini.

Tahun pertama adalah tahun tersulit baginya. Lelaki itu awalnya benar-benar buta perihal mengelola perusahaan. Namun Ayahnya, yang juga dibantu oleh Jarvis, sekretarisnya, berusaha sekuat mungkin membuat Anson mengerti.

Berdiri di sini adalah sebuah perjuangan, luka, kebanggaan, dan kebahagiaan tersendiri baginya.

Pertanyaannya, kenapa Anson lebih memilih untuk berbakti kepada Ayahnya dari pada kembali ke sisi sang gadis?

Ayahnya adalah orang pertama yang membuatnya mengerti bahwa cinta dan benci punya batasan. Melalui Ayahnya, Anson belajar bahwa tak semua cinta berakhir bahagia. Cinta Ayahnya pada harta, membuatnya mencampakkan keluarganya, bencinya pada sebuah ikatan, membawanya masuk ke dalam lingkaran penyesalan.

Pengabdian kepada orang tua adalah kewajiban bagi seorang anak. Anson selalu memegang teguh prinsip itu, itulah alasan kenapa selama ini dia bertahan. Hanya menunggu waktu untuk berbakti.

Pertanyaan berikutnya, apakah Anson telah menyiapkan dirinya untuk menatap sorot penuh kebencian dari Lora?

Bahkan bila dia belum siap, dia harus siap. Anson tentu saja melihat dengan jelas sorot itu, namun ada sorot lain yang ikut melebur bersamanya, sebuah makna yang membuat hati Anson menghangat ketika mengingatnya.

Hidup di dunia seperti ini membuat Anson tahu bahkan bila hanya melihatnya secara sekilas. Sorot benci itu dibarengi dengan rindu. Anson tak mau terlalu tinggi berharap, namun tak pula bisa dipungkiri bahwa dia ingin mempercayainya.

Anson harap, rasanya tak lagi sepihak.

"Ada apa?" tanya Anson tak berbalik, lelaki itu masih sangat betah menatap gemerlap di hadapannya.

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang