Langkah 18

181 13 35
                                    

"Katakan bila ada yang ingin kamu katakan, dan diam bila kamu tidak ingin mengatakannya. Tersesat dalam kesalahpahaman itu tak pernah mudah"

◾◾◾

Lora menuruni tangga dengan sebuah ransel berukuran besar yang disampirkan di kedua pundaknya.

Gadis itu berjalan menuju ruang keluarga dan meletakkan ranselnya di sebuah sofa single. Selepasnnya, Lora hanya terdiam di hadapan televisi yang menampilkan layar hitam pertanda benda persegi panjang itu mati.

Dia tersenyum sebentar ketika tiba-tiba memorinya terputar ke masa-masa dua tahun lalu, ketika ibunya masih ada. Bersama mereka. Menonton bersama ayah dan ibunya bila hari minggu tiba jika ayahnya tidak sibuk dengan pekerjaannya.

Namun sekarang, ruang ini bukanlah ruang keluarga lagi. Kehangatan yang dulunya hinggap kini telah pergi, ruang ini pernah benar-benar memberikan tawa tapi setelahnya menimbulkan bayang-bayang kesedihan yang melekat erat di setiap sudut.

Waktu setahun rasanya tak cukup bagi gadis itu untuk merelakan kepergian ibu yang paling di cintainya. Terlebih dengan luka masa lalu, merelakan seolah menjadi hal terberat bagi Lora.

Sadar waktunya tak lama lagi, Lora berjalan ke arah meja makan. Ayahnya juga sedang sarapan. Lora berjalan ke kursi yang biasanya didudukinya, menaruh nasi goreng dan telur mata sapi di piringnya, meraih sendok lalu menyantap makanannya dalam diam.

Memang telah menjadi kebiasaan dalam keluarganya agar tak berbicara ketika makan. Ayahnya sangat menitikkeraskan adab-adab yang berlaku di dalam keluarganya.

Sepuluh menit berlalu dengan sunyi. Lora yang baru saja menyelesaikan sarapannya melirik Ayahnya yang bangkit dari kursinya.

"Efa hari ini jadi pergi kemahnya?" Ayahnya bertanya dengan nada sesantai mungkin yang malah aneh terdengar di telinga Lora.

"Jadi pa" balas Lora singkat.

Ayahnya mengangguk, lalu menatap jam tangan yang terpasang di pergelangan tangannya.

"Biar papa yang antar" ucap Ayahnya lalu pergi dari sana guna mengambil tas kantornya.

Lora bangun dari duduknya seraya membawa piring kosong miliknya dan mengambil piring Ayahnya.

Bi Ita yang baru saja kembali dari dapur dengan tergopoh hendak menghampiri Lora, namun Lora menolak dengan isyarat menggeleng dan membawa piring-piring itu ke dapur.

"Bi, Lora pergi ya" ucap Lora setelah menghampiri Bi Ita yang tengah membereskan meja makan.

"Hati-hati non" ucap Bi Ita, dan Lora hanya mengangguk.

Bertepatan saat Lora menyampirkan ransel di kedua pundakknya, Ayahnya mengklakson mobil, meminta Lora agar lebih cepat masuk ke mobil. Hal itu membuat Lora terburu memakai sepatu sportnya dan keluar rumah menghampiri Ayahnya.

Lora membuka pintu penumpang bagian depan, membuka ranselnya dan menyimpannya di kursi belakang.

"Sekolah kamu gimana Efa?" tanya Ayahnya sesaat setelah mobil melaju.

Lora yang tengah memandangi kaca langsung menoleh ke arah Ayahnya.

"Baik pa, Efa punya teman yang baik." kecuali seorang pendatang yang berusaha merusak.

Ayahnya mengangguk, lalu memutar setir mobil berbelok ke kanan.

"Beryl ikut perkemahan ini Efa?" tanya Ayah Lora lagi mencoba menciptakan percakapan.

"Iya pa, Beryl ikut kok, kami bakalan bareng nanti" balas Lora.

Setelah itu diam. Lora melirik ponsel yang diletakkannya di atas dashboard bergetar. Gadis itu tak mengeceknya, Ayahnya tak suka bila dia bermain ponsel ketika ada orang yang lebih tua di dekatnya.

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang