"Bagiku, masa lalu itu bagaikan hantu yang bergentayangan. Di satu sisi aku membencinya. Namun, di sisi lain aku ingin bertemu dengannya, dan hal berikutnya yang terjadi adalah aku kembali membencinya"
◾◾◾
1 tahun kemudian
Sekarang Lora sudah berada di kelas XI SMA. Namun, dia masih sekelas dengan Anson, dan Beryl tentunya.
Semua berjalan seperti semestinya. Setidaknya. Memang beberapa hal berubah, seperti Lora yang perlahan bisa menerima kenyataan bahwa Ibunya telah tiada, namun lukanya masih tetap menganga.
Sering pula dia mengalami insomnia di tiap-tiap malamnya. Terkadang, diiringi dengan denyutan di kepalanya yang teramat sangat. Berkali dia mendatangi dokter Helios, namun semua tak akan bertahan lebih dari seminggu. Dan hal itu membuat Lora menenggak berbutir-butir obat untuk meredakannya. Kata dokter, semua akibat masa lalunya, dan (sedikit) ketidak ikhlasan Lora akan kepergian Ibunya.
Bohong bila Lora berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Sepulangnya dari rumah sakit kala itu, Lora hanya berbaring di kamarnya. Sepanjang hari. Menatap kosong langit kamarnya. Menampik bila ini semua kenyataan. Lora lebih percaya jika ini disebut mimpi, setidaknya itu harapannya. Meski harus diakui, kalau Lora benci berharap.
Setidaknya, dia masih waras dengan sadar bahwa dia harus menjalankan aktivitasnya. Bersekolah dan kembali hidup.
Sejak saat itu pula, rumah yang biasanya hangat dengan celotehan-celotehan Ibunya, kini mendadak sepi. Dingin bagai tak berpenghuni. Lora akan berbicara jika diperlukan, begitu pula dengan Ayahnya. Kaku. Jika sedang duduk di meja makan, hanya suara detingan sendok dan garpu yang bertabrakan dengan piring menjadi suara mereka. Mewakili setiap rasa terpukul akan kehilangan seseorang yang paling disayangi.
Tak ada lagi pertanyaan seputar sekolah yang biasa ditanyakan Ibunya selepas makan. Tak ada lagi usapan sayang di kepala dari Ayahnya kala dia hendak melangkahkan kakinya memasuki kamar. Semua lenyap tergantikan oleh sepi yang menusuk.
Mereka berdalih dengan mencari pembenaran, beranggapan bahwa mereka hanya perlu waktu untuk menata setiap keping memori yang tergambar jelas di setiap sudut rumah. Mengemboknya dalam sebuah kotak dan menyimpannya jauh di sudut hati. Hingga bila mereka merindukannya, seolah dengan aba-aba, Lora dan Ayahnya akan mengurung diri. Menikmati setiap keping memori yang menyiksa.
Tak ada pula yang ingin mengubah jalinan yang mulai retak itu. Mereka seolah merasa nyaman dengan apa yang terjadi saat ini. Saling diam.
Namun sesungguhnya, hati Ayah Lora teriris kala mendengar Lora menangis meraung menghadapi setiap deritanya di sudut kamar, hampir setiap malam, Ayahnya akan berdiri di depan pintu kamar Lora. Pada tengah malam.
Sungguh dia ingin membuka pintu itu dan mendekap erat putrinya. Namun dia tak pernah bisa melakukannya. Dia takut malah pertahanannya akan runtuh dan membuat Lora semakin bersalah. Hingga yang di lakukannya adalah meratap dengan nanar pintu kamar Lora. Menunggu Lora hingga selesai menangis.
Saat Itulah waktunya untuk masuk. Dengan pelan nyaris tak bersuara, dia masuk ke dalam kamar Lora. Hanya kegelapan yang menyambutnya. Beliau menatap sendu botol obat yang membuat anaknya tertidur dengan pulas di atas ranjang.
Hatinya kembali teriris kala melihat jejak-jejak liquid bening di mata anaknya, juga rambutnya yang berantakan seolah ada yang menjambaknya keras. Lora menjambak rambutnya, berharap dengan cara itu, rasa sakit pada kepalanya menghilang. Meski cara itu tak berpengaruh apapun. Dengan pelan dia duduk di ranjang Lora. Matanya tertegun sesaat kala melihat helaian rambut Lora yang berada di telapak tangannya. Bahkan rambut panjang putri semata wayangnya rontok akibat luka mendalam yang di deritanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [T A M A T]
Teen FictionIni tentang Lora. Seorang gadis yang hanya ingin hidup dengan damai di SMA. Menjalani kehidupan biasa yang melibatkan orang biasa. Namun, karena seorang cowok yang tiba-tiba datang dalam kehidupannya, rasa biasa yang selama ini membuat Lora nyaman...