Epilog

402 11 0
                                    

Di sepanjang perjalanan ku untuk mengerti semesta, aku bisa menarik sebuah kesimpulan. Bersyukur untuk segala sesuatu yang kita punya ternyata bisa membawa rasa bahagia yang tiada habisnya.
-LATEFA-

◾◾◾

"Kamu di mana sih?" Lora berdecak sebal, sudah sejam dia duduk di sini, menanti seseorang yang katanya 'telah tiba' di tujuannya.

Gadis itu tak mendengar suara apa pun dari ponselnya, dan dia semakin murka akan hal itu.

Baru saja Lora hendak mengeluarkan rentetan kemurkaannya, seseorang merebut ponsel yang ditempelkan Lora di telinganya.

"Tuh" ucapnya menunjuk seseorang, tepat sebelum Lora mengeluarkan semburannya.

Lora berbalik, menatap seseorang yang ditunjuk oleh lelaki dengan kemeja biru dongker ini, dan gadis itu melihat seorang laki-laki yang tengah berjalan ke mereka sambil menyengir menampakkan giginya, tangannya yang menggenggam ponsel dilambaikannya, membuat Lora tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Akhirnya, capek banget duduk sepanjang perjalanan" ucap lelaki dengan sebuah koper besar dan ransel yang disampirkannya di bahu itu setibanya dia di hadapan Lora, agak sedikit jauh.

Lelaki itu melepaskan genggamannya pada koper, lalu meletakkan ranselnya di lantai, sebelum akhirnya merentangkan tangan dan berjalan menghampiri Lora, hendak memeluk gadis itu.

Namun gerakannya kalah cepat dari lelaki berkemeja biru dongker yang entah sejak kapan telah berada di hadapan Lora.

Alhasil, kedua lelaki itu berpelukan. Samar lelaki berkemeja dongker mendengar suara tawa dari gadis di belakangnya, membuat dia ikut tersenyum.

Tiga detik pelukan itu tercipta, karena secara refleks, lelaki itu melepaskan pelukannya. Menatap jijik lelaki berkemeja biru dongker.

"Lora udah ada yang punya, jangan sentuh"

Dibelakang, Lora menggumamkan kata 'woah' dengan nada tak percaya.

Lelaki itu melotot tak percaya, dengan cepat dia menyelip sesosok manusia di hadapannya dan menatap Lora kaget.

"Jadi bener Ra? Kalian uda lamaran? Iya?" tanyanya heboh seraya membolak-balikkan tangan Lora, lalu mengamati satu persatu jari gadis itu dan nihil. Tak didapati satupun cincin di jari si gadis.

"Do'ain aja" Lora terkekeh kecil setelah mengatakannya. Ayolah, siapa memang yang mau melamarnya di usia sembilan belas tahun?

"Sama siapa? Gaelen?" lelaki itu masih bertanya. Maklum, sudah hampir dua tahun dia tak kembali ke kampung halamannya karena merantau, mencari ilmu di negeri orang.

Lelaki berkemeja biru dongker terlihat tak suka, dengan cepat dia menarik lengan baju Lora, membuat gadis itu kaget karena tiba-tiba dia harus berjalan. Meninggalkan lelaki lain yang malah hanya diam di tempatnya.

"Ayo cepetan Vath"

Bagai disengat, lelaki itu langsung saja meraih koper dan ranselnya, ikut menyusul dua orang berlawanan jenis yang telah berada jauh dari tempatnya.

Jadi Lora mau tunangan sama siapa?!

Lora berjalan, tepatnya berjalan cepat, tarikan pada lengan bajunya membuat gadis itu menghela napas.

"Kamu marah?" tanyanya pelan.

Sontak lelaki di hadapannya diam, tangannya di lengan baju Lora perlahan mengendur, lalu benar-benar lepas.

"Nggak, sekarang ayo kita pulang" ucap si lelaki tanpa menoleh ke arah Lora, tangannya mengepal, dia hanya merasa marah pada dirinya sendiri.

"Tapi kita harus tunggu Ashvath, kita ke sini karena itu kan?"

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang