Langkah 27

150 13 10
                                    

"Tak terlihat bukan berarti tak ada. Begitu pula dengan perasaan, mungkin hari ini masih biasa saja, tapi siapa yang tahu besok atau seterusnya?"

◾◾◾

Daegal menatap Lora yang tengah tertidur dengan posisi duduk di sofa. Gadis itu tampaknya tak masalah dengan posisi tidurnya saat ini. Mungkin karena kelelahan, dia akhirnya tertidur pulas.

Setelahnya, perhatian Daegal teralih pada Anson yang sedang menatap layar ponselnya.

"Gimana caranya aku antar dia pulang sedangkan dia udah tidur?" tanya Daegal seraya membenarkan selimut Lora.

Anson menoleh ke arah Daegal, lalu ke arah Lora yang tengah tertidur. Dengan santai dia meletakkan ponselnya di atas nakas dan mengecek cairan infusnya.

"Biarin aja dia tidur di sini" sahut Anson kalem, namun dibalas dengan pelototan oleh Daegal.

"Gila kamu! Dia cewek dan kita cowok" ujar Daegal lalu geleng-geleng kepala.

"Emangnya kamu mau buat macam-macam sama dia?" tanya Anson menatap curiga Daegal.

"Harusnya aku yang curiga sama kamu. Kamu bawa kemana tadi dia? Sok banget, tau masih sakit tapi ngotot banget pengin keluar" balas Daegal lagi lalu mengambil segelas air dan meminumnya.

"Biarin aja. Seharusnya kamu bersyukur Lora bisa tidur nyenyak gitu." Anson menguap di akhir kalimatnya.

Daegal hanya menatap Lora. Dia sudah tahu semuanya. Beryl telah bercerita padanya ketika mereka masih berada di perkemahan. Katakanlah Daegal jahat atau apa pun, namun lelaki itu merasa lega ketika Emory dikeluarkan. Bersyukurlah Emory karena dia adalah seorang perempuan, karena bila dia adalah laki-laki, Daegal akan pastikan raganya mendekam di rumah sakit selama berhari-hari.

Daegal bahkan pernah menemani Lora menemui Dokter Helios ketika Anson koma. Lelaki itu awalnya mengira bahwa dokter yang sering disebutkan namanya oleh Lora itu adalah dokter umum, namun ketika Lora menjelaskan siapa Dokter Helios yang sebenarnya, Daegal hanya mangut-mangut, pura-pura mengerti lebih tepatnya.

"Kamu bawa kemana tadi dia?" tanya Daegal membuka tirai jendela.

"Pemakaman"

"Berarti dia udah tau?" tanya Daegal cepat.

Anson hanya menggangguk. Lelaki itu menghembuskan napasnya kasar.

"Udah berapa kali Ayahku ketemu sama Lora?"

Daegal yang tengah memakan buah sontak saja pura-pura menghitung dengan jarinya. Sedangkan Anson yang melihatnya hanya menatap dengan penasaran. Sebanyak itukah?

"Sekali" jawabnya setelah sekian lama menghitung dan kembali memakan buah, namun secara tiba-tiba dan tak terdeteksi oleh radarnya, sebuah bantal mendarat ke arahnya, membuat buah apel ada di tangannya jatuh tak berdaya.
Daegal menunduk dan menatap kasihan apelnya yang tergeletak pasrah di lantai. Lalu mendongak dan menatap tajam tersangka insiden yang tengah berpura-pura mengecek jarum infusnya.

Mencoba menghiraukan hal yang terjadi, Daegal meraih jeruk dan mengupas kulitnya. Biarlah Anson menatapnya aneh, toh selagi makannya halal, perutnya terisi dan kenyang, Daegal dengan senang hati menghabiskan makanan itu.

Temen sendiri kok.

"Tapi kamu beneran mirip sama Ayahmu, terutama mata kalian tuh. Miiiiiiiiriiiiiipppppp banget" ujar Daegal menunjuk mata Anson dengan telunjuknya.

Anson hanya diam. Memang harus diakui, wajahnya, terutama matanya sangat serupa dengan Ayahnya. Padahal Anson lebih suka mata almarhumah Ibunya. Hitam sekelam malam.

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang