Langkah 34

135 11 0
                                    

"Percaya kalimatku, Tuhan yang lebih tahu apa-apa yang terbaik untukmu."

◾◾◾

"Lain kali tunggu aku di kelasmu"

Lora mendongakkan kepalanya, namun mulutnya masih mengunyah makanan yang baru saja di suapnya. Gadis itu menatap sekeliling dan tentu saja, rata-rata pandangan para siswi tertuju ke mejanya, lebih tepatnya ke arah seseorang yang sedang menatapnya dengan tatapan intimidasi.

Lora menghembuskan napasnya pelan, satu hal yang tak pernah Lora ketahui dari orang ini. Dia tukang ngambekan.

"Iya, besok-besok aku bakalan tunggu kamu"

Orang tadi akhirnya mengangguk, lalu pergi sebentar untuk membeli makanan dan kembali beberapa menit kemudian. Mengambil posisi duduk di hadapan Lora, membuat pandangan para siswi masih saja tertuju pada mereka. Bahkan beberapa dari mereka telah mengeluarkan pendapat-pendapat pribadi mereka yang belum tentu kebenarannya.

Lora kembali memasukkan suapan nasi ke dalam mulutnya, karena tadi pagi dia terlambat bangung, gadis itu tak sempat sarapan dan memilih membawa bekal ke sekolah.

Hingga pada suapan yang kesekian kalinya, orang di hadapannya tiba-tiba meletakkan sendoknya dengan sedikit kasar ke luar mangkok, lalu mencengkeram pelan pergelangan tangan kiri Lora.

"Sekarang karena alasan apa kamu nggak tidur hmm?" tanyanya pelan, namun mengandung kemarahan didalamnya.

Lora awalnya hanya diam menatap orang itu, namun perlahan pandangan matanya beredar dan bisikan dari orang di sekeliling mereka semakin terdengar jelas.

"Lepas Gae, kita lagi ada di kantin" ucap Lora sepelan mungkin, semakin merasa risi dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

Gaelen melepas cengkeraman itu, lelaki itu meminum air mineral yang tadi dibelinya dan memejamkan matanya sebentar.

"Sudah dua bulan berlalu, dan aku semakin khawatir dengan kondisi Beryl, apalagi dia akan menjalankan operasi besok" ujar Lora dengan suara yang kembali normal.

"Hanya hal itu yang membuatmu tak tertidur malam? Bukan karena hal lain?" tanya Gaelen lagi, merasa belum puas akan jawaban yang diberi Lora.

"Maksudmu?" tanya Lora bingung.

"Bukan karena Anson?"

Lora merasa nada bicara Gaelen perlahan meninggi ketika mulai membicarakan tentang Anson. Gaelen seolah sangat membenci Anson, bahkan waktu itu ketika Gaelen tahu jika Lora pergi ke rumah Anson, lelaki itu membentaknya.

Dua bulan berlalu, Lora merasa hidupnya selalu dipenuhi dengan kejutan-kejutan di setiap harinya. Di saat yang sama gadis itu memikirkan Beryl dan Anson yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya di hadapan Lora.

Sering kali Lora kehilangan jam tidurnya karena terlalu memikirkan sesuatu secara berkepanjangan, dan hal membuat Gaelen berspekulasi bahwa perginya Anson adalah sebab dari semuanya.

Bagaimana dengan perasaan Lora? Gadis itu semakin yakin bahwa Anson lelaki yang saat ini ada di pikirannya, gadis itu tak henti-hentinya menanyai keberadaan Anson kepada Daegal dan teman-temannya, namun Daegal malah bungkam seribu bahasa ketika topik tentang Anson mulai dibicarakan oleh Lora.

"Lupakan saja dia Ra"

Hanya itu kalimat yang selalu terlontar dari mulut Daegal ketika Lora mulai mendesaknya. Namun pada kenyataannya, bersikap tak semudah berkata. Lora tak bisa melupakan Anson begitu saja, karena melalui lelaki itu, Lora mengerti akan hidup yang tak selalu berjalan mulus sesuai harapan.

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang