"Jangan pernah berfikir bahwa aku melupakanmu."
◾◾◾
Anson dengan terburu turun dari kamarnya ke lantai bawah ketika lelaki itu melihat Lora dan Daegal mulai berbalik. Lelaki itu bukannya ingin mengejar mereka, namun dia hanya ingin membicarakan sedikit hal dengan Ayahnya.
Tepat ketika Anson telah menuruni semua anak tangga, saat itu pula Gerhard hendak berbelok ke kanan, ke ruang kerja pribadinya.
Anson berlari tidak terlalu cepat, namun masih bisa mengejar Ayahnya yang telah membuka pintu ruangan itu, dan sebelum Anson berseru, Ayahnya telah masuk ke dalam ruang kerja pribadinya.
Lelaki itu berhenti di depan pintu, nyaris tak pernah Anson masuk ke dalam ruangan ini, lagipula Anson tak pernah peduli dengan apa-apa yang ada di dalamnya. Lelaki itu menimbang apakah dia harus masuk dan merusak kerja Ayahnya, yang malah akan berakhir dengan pukulan atau cacian untuknya.
Namun bukan Anson bila dia tak memberontak, lelaki dengan iris setenang lautan itu mengulurkan tangannya, menyentuh gagang pintu yang dingin, lalu dengan segala kenekatannya, lelaki itu membuka pintu.
Terakhir kali Anson masuk ruangan ini yaitu sekitar tiga tahun yang lalu, waktu itu dia masuk dan mengacak semua barang bahkan beberapa hingga pecah. Sekarang ruangan itu terlihat sedikit lebih hidup. Seingatnya, hanya dinding berwarna putih polos, sebuah meja kaca yang berukuran lumayan besar dengan kursi yang diatasnya terdapat banyak kertas-kertas menumpuk dan peralatan kantor lain, sepasang kursi jati, lemari yang dipenuhi dengan buku, dan tentu saja bingkai foto tanpa foto.
Namun sekarang agaknya sudah berbeda. Ayahnya telah menambahkan warna hitam di dindingnya, juga sepasang jendela kaca besar yang terletak beberapa meter di belakang meja kaca, lemari yang berisi buku tetap ada di sana, namun di bagian dinding seberangnya telah ada seunit televisi dan sepasang kursi jati itu telah diganti dengan sepasan sofa berwarna hitam.
"Ada apa?" tanya Gerhard menyadari keberadaan Anson, tapi tak kunjung mengalihkan perhatiannya dari laptop yang menampilkan angka-angka dan tulisan-tulisan rumit.
Anson tak memperdulikannya, lelaki itu hanya memfokuskan pandagannya ke arah bingkai yang berbeda dari bingkai-bingkai lain. Bingkai itu terletak di sudut ruangan, tepat di samping jendela kaca, namun bingkai itu dibalik, sehingga Anson tak bisa memastikan apakah bingkai itu berisi foto atau malah seperti bingkai-bingkai lain di rumahnya. Kosong.
"Suatu hari nanti ruangan ini akan menjadi milikmu" tiba-tiba Gerhard menyahut, membuat perhatian Anson terpusat padanya.
Anson hanya diam, lelaki itu tidak menerima, tidak pula menolak. Lelaki itu berjalan mendekat ke meja Ayahnya, lalu berhenti ketika jarak yang terbentang diantara mereka berkisar antara empat meter.
Satu hal yang luput dari mata Anson, di sudut kanan meja terdapat sebuah bingkai foto berukuran sedang yang juga dibalik oleh Ayahnya. Namun Anson sangat mengenali bingkai itu, bahkan bila bingkai itu telah dibakar dan dimusnahkan hingga tak berjejak, Anson masih sangat hafal seluruh ukiran yang ada di bingkai itu.
Bingkai buatan Ibunya, dan bingkai itu adalah bingkai yang paling disukai Chandra. Anson juga masih sangat ingat, waktu itu mereka mengambil sebuah foto keluarga di halaman belakang rumah karena paksaan kakek dan nenek, dulu sekali. Ibunya sangat bahagia hingga membuat bingkai khusus untuk foto keluarga itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kembali [T A M A T]
TienerfictieIni tentang Lora. Seorang gadis yang hanya ingin hidup dengan damai di SMA. Menjalani kehidupan biasa yang melibatkan orang biasa. Namun, karena seorang cowok yang tiba-tiba datang dalam kehidupannya, rasa biasa yang selama ini membuat Lora nyaman...