Langkah 6

302 21 1
                                    

"Titik jenuh yaitu ketika kita menjalani hidup, namun dengan ketiadaan bahagia atau sedih. Hanya hampa, dan rasanya seolah mati."
◾◾◾

Lora tersentak kaget dari tidurnya dengan peluh keringat yang membasahi tubuh serta pakaiannya. Nafasnya memburu.

Matanya dengan liar mencari keberadaan ponselnya, dan ketika dia menemukannya, dengan tergesa dia mengaktifkan layar ponselnya yang mati sebelum dia tertidur tadi.

Pukul 02.15 pagi.

Adalah hal pertama yang ingin dilihatnya. Lalu dengan pelan, kakinya menapak ubin-ubin kamarnya yang dingin. Lora menghidupkan lampu. Lalu membuka nakas kecil di samping ranjangnya dan membuka laci paling bawah. Matanya memandangi 2 buah botol yang tergeletak di dalam nakasnya, dan mengambil sebuah botol. Lora mengeluarkan sesuatu dari dalam botol itu dan berjalan ke arah dispenser yang memang telah disediakan oleh orang tuanya. Dia menunggu air di dalam gelasnya penuh, lalu dengan gerakan cepat dia meminum sesuatu yang diambilnya dari botol itu disertai dengan suara tegukan air. Lora meminum air di gelasnya hanya dengan sekali teguk.

Lora berjalan pelan ke arah balkon kamarnya. Dia membuka pintu kaca yang menghubungkan kamarnya dengan balkon, lalu memandangi pemandangan langit dengan kosong. Deru nafasnya telah normal, tidak lagi memburu seperti ketika Lora terbangun tadi.

Memorinya terputar pada kejadian ketika dia keluar dari perpustakaan, dan tentang pesan dari Anson yang entah kenapa bisa membuatnya tersenyum. Di sepanjang jalan menuju rumahnya, Lora berfikir. Lora tipe orang yang terlalu memikirkan sesuatu dengan lama. Hingga ketika dia telah menapaki pekarangan rumahnya, dia telah memutuskan. Dia akan menerima Anson sebagai temannya. Meski sedikit ragu. Sekali saja, dia ingin sedikit merasakan dirinya yang dulu.

Tak ingin larut terlalu lama, Lora akhirnya memandangi langit. Dia menyukainya. Ketika langit yang penuh dengan gemerlap bintang menemani setiap malam sepinya. Oh ya, jangan lupakan juga sang bulan yang dengan semangatnya menyinari hidupnya.

Bahkan hingga fajar perlahan mulai mengganti kedudukan bulan, Lora tetap terjaga. Matanya seolah enggan untuk menutup. Meresapi setiap detik-detik sepi yang di lewatinya. Bahkan sekarang dia sedang menyaksikan fajar yang perlahan terbit. Indah. Namun, entah apa yang ada di benaknya. Lora lebih menyukai kelamnya malam.

Lora hanya terdiam di tempatnya. Lalu samar dia mendengar suara pintu di ketuk. Mungkin Bi Ita, batinnya. Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Bi Ita sedang berdiri di hadapannya.

"Kenapa bi?" tanya Lora memulai percakapan.

Sesaat Lora melihat gerik Bi Ita yang terlihat gelisah. Namun dia tak ingin menduga.

"Anu non, saya mau minta izin" Bi Ita terlihat sedikit enggan untuk mengutarakan maksudnya. Dan hal itu tak luput dari pandangan Lora.

"Mau kemana bi?" tanya Lora lagi.

"Anak saya yang di kampung tipes. Dia di rawat di rumah sakit, saya mau pulang kampung non. Tapi saya khawatir soalnya non nanti sendirian di rumah, kan nyonya sama tuan belum balik" akhirnya Bi Ita menjelaskan maksudnya.

Lora hanya mengangguk mengerti.

"Gakpapa kok bi, aku bisa sendiri. Sebaiknya bibi pulang kampung. Anak bibi pasti butuh bibi" ujar Lora dengan senyum kecil di akhirnya. Berusaha meyakinkan Bi Ita.

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang