Langkah 8

251 16 14
                                    

"Rasa sakit itu ada bukan untuk dipamerkan, namun untuk di sembuhkan. Jadi tolong biarkan aku membantumu menyembuhkannya"
◾◾◾

Lora menatap kosong langit malam dari balkon kamarnya. Pikirannya berkelana. Tentang takdir. Ibunya, dan hidupnya. Untuk sesaat dia merasa masa lalu mulai mengambil kendali atas dirinya. Membiarkannya tenggelam dalam kenangan.

Malam, di sini aku sendiri.
Meratap, menatap.
Tak tentu arah.
Bulan seolah redup,
Bintang layaknya angin, ada namun tak berwujud.
Malam, ingin ku teriak.
Meluapkan segala asa.
Merutuk memori yang tak pernah sirna.

Tangis bagai rantai yang di kunci oleh gembok berkarat. Mengekang.
Malam, aku lelah.
T

akdir sangat gemar mempermainkan asaku.
Euforia itu hanya sesaat.
Semua terenggut begitu saja. Hilang.
Malam, aku bagai orang linglung yang tak tahu arah
Padahal aku tlah pulang ke rumah.
Jerit tangis seolah tak lagi bisa mewakili semua lara.
Luka seolah enggan untuk singgah.
Malam, aku ingin memutar waktu.
Malam, di sini angin menertawakan kebodohanku.
Malam, untuk pertama kalinya aku ingin bersua.
Aku ingin menikmati saat-saat itu lebih lama.
Malam, aku jenuh.
Malam, tolong maafkan aku.
Namun sekali saja, aku ingin sedikit. Ketenangan.
Malam,
Kenapa tak pernah berakhir?
Malam, tolong jawab aku.

Lora akhirnya masuk kedalam kamarnya. Gelap. Dia sengaja tak menghidupkan lampu kamarnya. Kakinya melangkah ke arah dispenser dan mengambil segelas minum, lalu dia kembali melangkah ke nakas di samping tempat tidurnya, membuka laci paling bawah dan mengeluarkan 2 botol obat dari sana. Lora membuka tutup botol itu dan meminum obat dari sana. Dari kedua botol itu.

Sesaat kemudian Lora terduduk di tempatnya. Ketika dia masuk tadi, dia membiarkan pintu balkon terbuka. Membiarkan angin malam membelah setiap inchi kamarnya yang kelam ini. Perlahan Lora merasakan kantuk mulai menderanya. Dia tetap diam. Tak berniat bangkit menuju ranjangnya, sesaat sebelum kegelapan melingkupnya, dia berbisik pada angin

"Dok, maafkan aku"

❇❇❇

Anson melangkahkan kakinya dengan pasti menuju kelasnya. Namun, senyum yang biasa di tampilkannya tak terlihat. Matanya pun seolah meredup memikirkan fakta bahwa beban hidupnya bertambah.

Anson duduk di kursinya, lalu tak sengaja iris matanya bertubrukan dengan sepasang kursi dan sebuah meja yang beberapa hari ini tak memiliki pemilik. Pikirannya berkelana pada seorang gadis yang diyakininya sedang tidak baik-baik saja.

Sudah 3 hari Lora tak hadir ke sekolah. Teman sekelasnya pun tahu tentang Ibu Lora yang telah tiada. Bahkan, beberapa dari mereka mengunjungi makam Ibu Lora ketika jenazahnya baru saja di kuburkan.

Anson hendak bangkit ketika tiba-tiba ponselnya berdering menampilkan nama seseorang di sana. Hal berikutnya terjadi bagitu saja, setelah mendengar seseorang di seberang sana berbicara, Anson dengan segera menyandang tasnya dan berlari. Mengabaikan teriakan Daegal yang berteriak kemana dan menyeru bahwa bel masuk sebentar lagi berbunyi.

"Anson, sudah 3 hari Lora tak menghubungiku. Ketika aku menghubungi Ayahnya, beliau berkata sudah 3 hari Lora hanya mengurung diri di kamar. Bahkan dia tak ingin makan. Aku khawatir sesuatu telah terjadi padanya"

Kembali [T A M A T]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang