"Assalamu 'alaikum!"
Shera mengetuk pintu rumah Cakra. Tania berdiri gugup dibelakangnya.
Cklek!
"Wa'alaikumussalam. Eh, ada Shera." Rina menyambut hangat Shera yang bertamu ke rumahnya.
"Tante, Cakra ada?" Shera melirik Tania dibelakangnya yang masih enggan berbicara, jadi Shera saja yang mewakili.
"Dia didalam. Ayo masuk!"
Shera bersama Tania masuk mengikuti langkah Rina.
"Tante panggilkan dulu, yah."
Rina sudah berlalu lebih dulu, menyisakan Shera dan Tania yang sama-sama terdiam.
Kedua gadis itu kompak menoleh saat Cakra dengan langkah santai menuju kearah mereka. Tapi saat tatapan Cakra bertubrukan dengan tatapan milik Tania, wajah Cakra nampak mengeras.
"Kenapa bisa ada dia disini?! Lo yang ngajakin?!"
Shera nampak gelagapan. Untung saja Rina tak ada bersama mereka. Jadi, Shera bisa membantu Cakra dan Tania untuk membicarakan masalah mereka.
"Aku yang ngajakin Shera kesini, Cak. Jangan salahin dia," ungkap Tania.
Cakra tersenyum sinis. "Kamu yang ngajakin dia kesini? Buat apa, minta dia buat ngelindungun kamu?"
Kepala Shera makin pening. "Kalian berdua kalo ada masalah selesaikan dengan baik-baik, nggak ada gunanya kalian marah-marah."
Shera hanya berusaha membuat suasananya lebih cair. Semuanya masih bisa diselesaikan dengan kepala dingin.
Tania meremas tangannya yang mulai dingin. Cakra saja reaksinya sudah seperti ini, akan sulit bagi Tania untuk menjelaskan kebenarannya.
"Aku masih sayang sama kamu, Cak."
Shera dan Cakra menoleh sepenuhnya pada Tania. Shera merasa, langkah yang diambilnya ini tak sepenuhnya salah. Perlahan ia akan mundur, dan perlahan pula ia akan hilangkan perasaannya pada Cakra. Tania masih menyimpan hati bagi Cakra, dan tak ada alasan untuk Shera mempertahankan perasaannya sendiri.
"Kamu bilang masih sayang?! Jangan pikir aku akan luluh sama ucapan kamu. Cukup sekali kamu sakiti aku, untuk kedua kalinya aku nggak akan bersedia lagi."
Cukup, pertahanan Tania sudah luruh. Air matanya mulai merembes membasahi pipinya. Cakra sudah membuat hatinya menjadi sekeras batu, sulit terjamah dan sulit dikikis.
Tak sanggup melihat Tania menangis, Shera maju selangkah mendekati Cakra. "Udah puas nyakitin dia?! Terlepas dari apapun masalah kalian berdua, nggak pantas lo bikin dia nangis. Apa lo nggak kasihan sama dia?!"
Cakra memilih memalingkan muka. Sejujurnya ia tak pernah merencanakan bisa berbuat sekasar dan sejahat itu pada Tania. Ia sudah memaafkan kesalahan Tania, dan mengikhlaskan semua hal yang menimpanya di masa lalu. Tapi, Cakra juga sudah muak jika Tania terus saja mendekatinya, dengan dalih menjelaskan semuanya yang belum tuntas. Ditambah lagi Tania menyatakan perasaannya dan Shera ada bersama mereka.
"Cakra, jangan sampai karena sikap keras lo kayak gini ke Tania akan berujung penyesalan."
Cukup! Cakra benar-benar muak!
"Lo tau apa tentang masalah gue sama Tania? Nggak usah ikut campur kalo lo nggak tau apa-apa! Jangan berlagak jadi orang paling bijak buat ngasih solusi buat masalah gue. Semuanya diluar jangkauan dan kapasitas lo sebagai orang luar!"
Napas Shera memburu mendengar ucapan Cakra yang terdengar menyakitkan ditelinganya. Ya, Shera hanya orang luar.
"Bukan berarti selama ini gue gangguin dan berinteraksi sama lo itu artinya lo bisa ikut campur sama urusan gue. Lo nggak bisa ngebayangin gimana susahnya gue mengikhlaskan semua hal yang menimpa gue. Oh, apa jangan-jangan ayah lo nggak pernah ngajarin lo buat nggak ikut campur sama urusan orang lain?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Choice
Teen FictionPutus cinta saat masih duduk di bangku SMP nyatanya membuat Cakra berlaku seorang pemuda yang sangat menyebalkan. Tak ada hari bagi pemuda itu untuk tidak membuat kekacauan. Ada satu hal yang sangat senang Cakra lakukan selain berbuat onar. Ia senan...