13

551 25 4
                                    

"Maaf, yah, Shera kelamaan," ujar Shera lalu duduk kembali disebelah ayahnya.

Adi mengusap kepala Shera. "Nggak papa," ujarnya.

Anak dan ayah itu mulai fokus pada kata sambutan yang diberikan kepala sekolah untuk orang tua murid.

Tapi, Shera tengah menilik sosok seseorang. Seseorang yang tadi mau berbagi kisah dengannya, cowok yang kini duduk diapit oleh kedua orang tuanya.

Cakra, mengingat nama itu saja Shera berhasil dibuat merona. Perlakuan sederhana Cakra tadi begitu romantis dimata Shera. Cakra bahkan sampai mengikutinya keluar aula. Bagaimana Shera tidak bawa perasaan?

Dengan saksama Shera mendengar penuturan kepala sekolah. Sesekali matanya melirik Cakra yang duduk diposisi paling depan.

"Bapak dan ibu sekalian, seperti yang kita ketahui bahwa hari ini bertepatan dengan hari ibu, pihak sekolah sengaja membuat acara ini. Kami berharap, dengan adanya acara ini hubungan kekeluargaan antara anak dan orang tuanya makin erat. Sehubungan dengan acara ini pula, kami mempersilahkan anak murid untuk menyampaikan ucapan atau pesan pada kedua orang tuanya. Ada yang bersedia?" Ucapan kepala sekolah itu membuat semua siswa saling melirik. Penasaran siapa yang mau mengajukan diri.

Hingga semua orang terpaku pada satu titik. Mata mereka memancarkan sorot berbeda-beda. Ada yang penasaran, dan ada pula yang bingung.

Shera bangkit dari duduknya setelah kepala sekolah mempersilahkannya untuk maju dan naik diatas mimbar.

Dengan mata berkaca-kaca, Shera berjalan melewati puluhan orang, termasuk Cakra, dan ketiga temannya.

Aris bahkan menyikut Cakra. "Cakra, dia Shera, 'kan?", tanya Aris memastikan penglihatannya.

"Kok papa tau?", tanya Cakra kaget. Pasalnya ia tak pernah mengatakan apapun tentang Shera.

Aris menatap Cakra antusias. "Lukisan yang papa berikan pada kamu itu, Shera yang membuat. Dia anak sahabat papa, om Adi," jelas Aris.

Cakra menatap Shera yang berjalan mendekat ke mimbar. Tak Cakra sangka rupanya Shera anak sahabat papanya.

Disisi lain, seorang gadis menatap Shera dengan binar bahagia. "Tan, dia itu Shera, teman aku yang pernah aku ceritain ke kamu." Tesa berbicara dengan nada riang pada gadis lain disebelahnya, lebih tepatnya saudari kembarnya.

Gadis yang dipanggil 'Tan' itu menaikkan kedua alisnya. "Beneran?", tanyanya ingin tahu.

"Iya. Dia baik banget, lho."

Saudari kembar Tesa hanya mengangguk pelan. Selanjutnya tatapannya kembali memandang Shera.

Shera sudah ada diatas mimbar. Kepala sekolah memberikan sebuah mikrofon padanya.

Gadis itu kemudian mendekatkan mikrofon itu pada mulutnya. "Sebelumnya terima kasih pada bapak kepala sekolah yang sudah berkenan mengizinkan saya untuk menyampaikan pesan pada orang tua saya."  Shera menjauhkan mikrofon itu dari mulutnya, ia menghembuskan napas berat. Ia tak boleh menangis. Begitu banyak hal yang harus ia sampaikan kepada ayahnya.

"Hari ini memang hari ibu, semua anak pasti merayakannya. Tapi, sayangnya anak-anak yang sudah tak bisa memiliki ibu seperti kami tidak bisa merayakannya secara lebih leluasa. Kami tak bisa memeluk ibu, dan mencium ibu. Tapi, saya bersyukur karena sampai sekarang Tuhan masih berbaik hati. Masih ada ayah yang berperan menjadi ayah sekaligus ibu yang baik buat saya. Ayah yang merawat saya dari kecil, menyayangi saya sepenuh hati. Ayah selalu sabar dan menjadi sandaran saya disaat kondisi saya benar-benar rapuh. Hanya dia satu-satunya harta yang saya miliki, harta paling berharga. Rasa terima kasih saja tak akan pernanh cukup untuk ayah."

Beautiful ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang