40

504 23 8
                                    




Shera percaya, bahwa seburuk-buruknya perilaku seseorang dimasa lalu, akan ada saatnya dia akan berubah menjadi orang yang lebih baik.

Contohnya adalah Gio. Shera ingat sekali kala Gio menganggunya saat duduk di bangku SMP dulu, gangguan pertama sekaligus terakhir di masa SMP-nya.

Tapi itu dulu. Gio memang pengganggu, dan biang onar. Sekarang Gio adalah sosok yang sangat baik, begitulah yang Shera pikirkan. Gio memberinya semangat dan wejangan yang baik.

Memang benar, tak ada seorang pun yang berhak memaki orang lain hanya karena keburukannya dimasa lalu.

Shera menyibukkan diri menyalin materi semua mata pelajaran hari ini. Ia mau fokus belajar saja sekarang. Sudah cukup memikirkan hal yang sudah tak bisa ia kembalikan atau pun kendalikan lagi.

Risty pun juga melakukan hal yang sama padanya. Sesekali gadis disebelahnya itu mengeluh. Tangannya terasa pegal dan lehernya jadi ikutan tegang.

"Beneran deh, nih guru-guru pada tega semua sama kita, Ra. Ngerangkum materi dan waktunya cuma singkat."

Shera mendengus geli. "Yaudah sih, Ty. Kerjain aja. Emang kalo ngomel kerjaan lo beres?"

"Yah..., nggak juga, sih."

Risty kembali melanjutkan pekerjaannya. Shera pun melakukan hal yang sama.

"Ra!"

"Hmmm?", ujar Shera tanpa mengalihkan pandangannya dari buku catatannya.

"Cowok ganteng yang datang ke rumah Tania tempo hari siapa lagi sih namanya?", tanya Risty.

Shera menghentikan aktivitas mencatatnya. "Namanya bang Gio. Kenapa? Lo naksir?"

"Hehehe, iya." Risty menjawab malu-malu sembari menutup wajahnya.

Shera tersenyum geli. "Cieee...., perlu disalamin nggak, nih?"

Risty menoleh cepat. "Emang bisa?"

Shera mengangguk cepat. "Ya bisa, lah. Dia orangnya baik, lho."

Risty hanya tersenyum malu-malu dan menganggukkan kepala.

Lagi-lagi Shera merasa lucu sendiri melihat kelakuan Risty ini. Sahabatnya yang selalu bisa paham akan keadaannya.

*****




Shera berjalan sendirian di koridor sekolah. Ia berniat ke kantin untuk membeli buku tulis. Buku catatannya lembarannya sudah penuh, dan masih banyak rangkuman materi yang belum Shera catat.

"Sipit!"

Tubuh Shera serasa dialiri listrik saat Cakra menahan pergelangan tangannya. "Gue mau ngomong sama lo," ujar Cakra pelan.

Shera menundukkan kepala. "Maaf, Cak. Gue nggak bisa. Gue mau beli buku tulis."

Shera membebaskan tangannya dari Cakra. Dengan mempercepat langkahnya, Shera meninggalkan Cakra begitu saja.

Tapi Cakra tak akan membiarkan Shera pergi tanpa berbicara dengannya. "Sipit, gue mau bicara sama lo!"

Cakra menarik tangan Shera hingga tubuh gadis itu menubruk tubuhnya.

Mata Shera membelalak. Dalam keadaan sedekat ini dengan Cakra sungguh tak pernah ia bayangkan. Dan Shera bisa dengar jantung Cakra berdetak sama cepat dengan jantungnya.

Cakra memundurkan sedikit tubuhnya agar bisa melihat Shera lebih leluasa.

"Kenapa kesannya lo sering banget ngehindarin gue? Salah gue apa sama lo?", tanya Cakra dengan suara pelan.

Beautiful ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang