32

448 21 0
                                    

"Assalamu 'alaikum! Ayah Shera pulang!"
Hari ini menjadi salah satu hari melelahkan bagi Shera.

"Wa'alaikumussalam. Kok kamu pulangnya terlambat?"

"Oh, itu yah, mampir ke rumah teman sebentar. Sekalian nengokin teman yang lagi sakit."

"Gimana keadaannya?"

"Alhamdulillah, sudah baikan, yah. Oh iya, ayah tadi makan apa? Shera belum sempat masak buat ayah."

Adi mengacak puncak kepala Shera. "Kayak kamu nggak tau ayah aja. Ayah ini jago masak."

Shera cengengesan. "Hehehe, iya, yah. Ayah terbaik deh pokoknya."

"Yasudah, ganti pakaian baru makan."

"Siap, bos!"

Shera bergegas menuju ke kamarnya.

Tak langsung berganti pakaian, Shera hanya memandangi pantulan dirinya di cermin.

Ada banyak hal yang ingin Shera cermati dari dirinya. Mengapa hari ini ia bisa begitu ikhlas dalam melakukan sesuatu? Ia bahkan sudah bisa sedikit mengendalikan emosinya saat melihat Cakra dan Tania sempat berpelukan, setelah sebelumnya ia benar-benar marah pada Cakra.

Mungkin saja Shera sudah mulai menerapkan perilaku ikhlas dan sabar yang ayahnya beritahu padanya.

Sudahlah. Toh, ini pilihan yang Shera ambil. Jika Cakra bahagia bersama Tania, Shera akan perlahan melepaskan.

***

Seperti dugaan Shera, Tania sudah berani mendekati Cakra tanpa rasa takut. Membahagiakan melihat senyum Tania terkembang lebar. Apalagi Cakra yang sudah tidak lagi mengabaikan Tania.

Dan sesuai janji Shera hari ini, seusai makan di kantin, ia akan menemui Meisy dan mendaftar kembali sebagai anggota eskul seni yang baru. Ini semata-mata ia lakukan sebab Cakra berhasil menyanggupi kemauannya.

Menarik napas dalam-dalam, kemudian Shera hembuskan kembali. Ia sudah membulatkam tekad, jika hari ini ia memenuhi janjinya, pada Cakra.

"Kak Meisy!"

Meisy dan beberap senior eskul seni menoleh kearah Shera yang berdiri kikuk di dekat pintu. Meisy dengan setengah berlari menghampiri Shera.

"Kamu mau masuk eskul seni lagi? Kami menerima kamu dengan senang hati!"

Mata sipit Shera membulat. "Hah? Kok kakak tau aku mau gabung lagi?"

Meisy berkacak pinggang. "Apa sih yang kakak tidak tau? Tadi Cakra yang kasih tau kakak. Awalnya sih kakak nggak percaya, keseringan ngerjain orang bikin kakak kira dia bohong. Eh, tapi pas liat kamu kesini dan melihat respon kamu, kakak senang."

Shera tersenyum tipis. "Maaf yah, kak. Sifat Shera kekanak-kanakan."

"Bukan salah kamu, kok. Cakra bilang kalo ayah kamu masuk rumah sakit, dan kamu khawatir ninggalin dia sendiri."

Dalam hati Shera menggeram kesal. Apa untungnya Cakra menceritakan masalah itu pada senior? 'Kan Shera tidak enak.

"Kalo Shera masuk eskul seni lagi, apa Shera bakalan tetap menari?", tanya Shera hati-hati.

Kepala Meisy mengangguk mantap. "Iya, Shera. Pasangan menari kamu tetap Cakra. Kamu tau, saat kamu keluar kami pusing mencari nyariin pasangan nari buat Cakra. Yah, walau begitu menyebalkan, Cakra itu orang yang berbakat. Bahkan, saat kamu keluar, dia datang dan mau mengundurkan diri. Dia nggak mau dipasangin sama yang lain. Sementara di eskul seni nggak ada seorang pun yang mau gantiin Cakra. Udah, senior mulai uring-uringan." Meisy menampilkan senyum lebar. "Tapi untungnya, kamu mau bergabung. Ah, lega banget rasanya. Oh, tentang Cakra, kayaknya dia ada perasaan sama kamu."

Beautiful ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang