34

437 22 4
                                    

Shera menatap Cakra lekat.

Apakah Tania berhak diberi kesempatan?

Nampak Shera begitu takut menjawab. Jika ia salah jawab bagaimana?

Setelah menarik napas dalam-dalam, Shera saat ini hanya bisa memberikan jawaban 'ter-aman'. Urusan tanggapan Cakra bagaimana, akan ia pikirkan nanti.

"Itu kembali lagi sama lo. Selama itu baik, kenapa nggak lo usahakan?"

Cakra menegakkan tubuhnya, tak lama berselang ia menjambak rambutnya dengan gerakan frustasi.

Lantaran perilakunya itu, Shera meringis dengan raut bersalah diwajahnya. Dia pasti mengucapkan perkataan yang salah.

"Ya, itu kalo gue masih ada rasa, tapi gimana kalo gue udah hilang rasa sama dia? Ini bukan status karena gue benci dia, tapi beneran gue nggak mau kasih dia harapan palsu. Yang ada, dia malah tambah sakit."

Shera malah merapatkan bibir. Apalah daya ia yang minim jika itu urusannya tentang cinta. Ia hanya merasakannya, tapi menjalin hubungan dengan orang yang ia cintai, selain ayah sebagai orang tua tentunya, tak pernah ia alami.

Kasihan juga Cakra. Terhimpit diantara dua pilihan yang sebenarnya, bikin sakit kepala. Jika mengabaikan Tania, Tania akan sedih, tapi jika ia ladeni Tania dan menerimanya kembali tapi perasaannya tak mau diajak kompromi, Cakra sendiri yang tak akan nyaman.

Keduanya diam cukup lama. Hingga satu persatu anak eskul dan senior mulai memasuki ruangan. Dalam hati Cakra berdecak. Sial!

Ia masih ingin bicara berdua bersama Shera, karena berbicara dengan gadis bermata sipit, yang harus Cakra akui cukup cantik dengan wajah oriental manisnya, membawa kenyamanan dalam bentuk berbeda pada Cakra.

Terlihat Meisy sudah berdiri dengan senior eskul lain.

Perhatian mereka beralih melihat beberapa kardus yang dibawa beberapa senior.

Apa itu? Apakah itu hadiah?

Mereka jadi penasaran.

"Penasaran sama isi kardusnya?", ujar Meisy lantang memecah keheningan.

"IYA, KAAAKKK!", teriak anak eskul seni serempak, para senior jadi tersenyum geli.

"Kebetulan, hari ini kami sudah menyiapkan kostum untuk adik-adik semua. Waktu kita semakin mepet, besok hari terakhir kita latihan. Kalian harus serius, bikin eskul seni bangga sama kemampuan kalian. Paham?", seru Meisy lantang yang diangguki tegas oleh eskul seni yang lain.

"Baiklah, yang dipanggil namanya ke depan," timpal Dewi yang membuat anak eskul lain duduk rapi dan tertib di tempat mereka.

"Cakra dan Shera!"

Keduanya sempat tergelak, hingga akhirnya keduanya berdiri dan melangkah ke depan.

Dewi mulai berjongkok, membuka kardus itu hati-hati. Setelahnya ia mengeluarkan sepasang pakaian khas Melayu dari dalamnya. Satu pakaian untuk Cakra, dan satunya lagi untuk Shera.

"Cakra, ambil ini." Dewi memberikan Cakra pakaian Melayu, lengkap dengan celana, baju, kain, dan songkok. Sejenak Cakra memandangi pakaian itu. Senyum tipisnya mengembang. Ternyata pakaian Melayu dihadapannya ini sangatlah bagus.

"Shera, ambil ini." Kini Dewi memberikan pakaian Melayu pada Shera. Dilengkapi baju, kain, dan selendang. Dewi juga baru saja memberikannya sebuah tudung yang akan ia pakai sebagai hiasan dikepalanya nanti. Tudung yang dirancang menjuntai kebelakang, tak menutupi bagian wajah.

Beautiful ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang