41

453 20 0
                                    



Pikiran Shera berkelana tentang kejadian saat di koridor tadi. Sikap Cakra berbeda, dan Shera bahkan mengartikannya dengan makna yang berbeda pula.

Tapi ya sudahlah, toh kejadian itu sudah lewat. Shera tak perlu lagi memikirkannya.

Lagipula, sekarang ia hanya ingin fokus membahagiakan ayahnya, menjadi seorang arsitek agar bisa membangun rumah impian untuk ayah dab mendiang ibunya.

Langkah Shera membawanya menuju ke ruang eskul seni. Shera akan berusaha membiasakan diri untuk tak dekat-dekat lagi dengan Cakra.

Jujur saja, Shera tak mau mencari musuh. Selama hampir 16 tahun hidupnya ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus ada drama-drama saling benci dengan orang lain. Apalagi kalau urusannya sudah menyangkut laki-laki.

Bagi Shera ia hanya membuang waktu bagi hal yang sebenarnya tidak perlu.

Sampai sekarang Shera bisa melihat Tesa semakin gencar mendekati Cakra. Namun lagi-lagi, Shera bertingkah bodoh dan mempersulit dirinya sendiri. Dia merasa sakit hati.

Shera mengangkat kepalanya kala pintu eskul seni sudah ada didepan matanya.

Gadis itu melangkah.

Dan saat itu juga pandangannya bersibobrok dengan seseorang yang sudah ingin ia hindari sejak hari ini.

Cakra dan Shera memandang dan memilih bungkam. Shera bahkan jauh lebih senang jika mereka saling balas mengejek, saling mengolok, dan Cakra yamg terus mengomel kepadanya.

Bahkan mereka sudah selayaknya dua orang asing yang tak pernah bertemu sama sekali.

Shera memilih masuk lebih dulu, mengabaikan Cakra yang masih memandang punggung kecilnya.

*****

"Sipit!"

Shera terkejut saat mendapati Cakra sudah menghadang langkahnya. Hari ini Cakra sudah berjanji akan mengatakan segalanya pada gadis dihadapannya ini.

"Maaf, Cak, gue harus pulang."

Cakra tak akan menahan langkah gadis itu, tapi ucapannya pada detik berikutnya membuat langkah Shera berhenti.

"Lo benar-benar memperlakulan gue secara berbeda dari bang Gio."

Shera berhenti, lalu ia membalikkan tubuhnya hingga ia bisa melihat Cakra.

"Dari kemarin lo bilang soal itu. Gue sama sekali nggak ada niatan buat memperlakukan lo kayak gitu, Cak." Shera berujar lemah.

Cakra melangkah maju, dengan tatapan matanya yang mulai menyayu. "Oh, ya? Kenyataannya lo selalu baik sama bang Gio, sedangkan sama gue lo selalu menghindar. Apa seburuk itu gue dimata lo?"

Cakra terus melangkah maju, mengharuskan Shera melangkah mundur. "Makin lama ucapan lo makin ngelantur, Cak."

Cakra tertawa hambar. "Iya, saking mikirin lo gue makin ngelantur."

Tubuh belakang Shera menubruk dinding. Cakra segera mengungkung ruang gerak gadis dengan meletakkan telapak tangannya di dinding, di sisi tubuh Shera.

"Beneran deh, Cak. Mau lo apa sebenarnya?"

Cakra menatap Shera lekat. "Lo nggak dengar gue kemarin ngomong apa?"

Dahi Shera mengerut dalam. "Lo ngomong soal apaan sih? Soal kemarin yang mana?"

"Kalimat gue belum selesai, dan gue harus kasih tau lo sekarang tentang hal itu."

Keduanya terdiam hingga Cakra mengatakan hal yang membuat Shera bungkam. "Gue suka sama lo."

Beautiful ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang