Shera menatap makanan yang tersaji didepannya. Terlihat menggugah selera, tetapi entah mengapa nafsu makan Shera mendadak hilang. Pikiran Shera hanya tertuju pada satu orang, ayahnya yang kini sendirian di rumah.
Cakra yang memang berada disebelahnya menyenggol pelan lengan gadis itu. "Lo kenapa?", tanyanya dengan suara berbisik.
Shera hanya menggelengkan kepalanya. Ia kembali menatap makanan itu.
"Kak Meisy!", panggil Shera membuat semuanya memusatkan perhatiannya kepada Shera.
"Kenapa, Ra?", tanya Meisy.
"Boleh nggak Shera pulang duluan?", tanya Shera. Meisy sedikit heran, sedangkan Cakra sudah membulatkan matanya.
"Kamu baru nyampe, lho. Kamu saja belum makan apa-apa. Habiskan yah makanannya, baru kamu pulang," kata Meisy.
Kepala Shera menggeleng cepat. "Nggak papa kok, kak. Aku bungkus makanannya aja."
"Serius kamu mau pulang?"
Shera mengangguk.
"Ya sudah, kamu hati-hati."
Shera pun berlalu sembari membawa piring yang berisi makanan. Ia akan bungkus dan membawanya pulang.
Sepeninggal Shera, Cakra nampak tidak tenang. Ia turut berdiri dari tempatnya.
"Cakra mau kemana?", tanya Vino lalu menyedot es susu strawberry miliknya.
"Itu, mau nyusul Sipit! Kak Meisy saya izin dulu!"
Tanpa menunggu respon dari Meisy, Cakra sudah berlari dan meninggalkan makanannya yang masih tersisa setengah piring lagi.
Yang terpenting baginya adalah Shera.
Cakra berlari hingga ke halaman depan cafe. Matanya menyipit kala melihat Shera berjalan sendirian dan meninggalkan area cafe.
Ia yang sudah membawa Shera kesini, dan ia juga yang harus membawa gadis itu kembali ke rumahnya.
Dengan cepat Cakra menyusul Shera.
"Pit!"
Shera terkesiap saat mendapati Cakra menahan tangannya. Shera segera memalingkan wajah, tak mau menatap Cakra lama-lama.
"Gue yang anterin lo pulang, yah?", tanya Cakra lembut.
"Ng, nggak usah! Gue bisa pulang sendiri," ujar Shera lalu membebaskan tangannya dari genggaman Cakra.
Gadis itu sudah berjalan lebih dulu. Meninggalkan Cakra yang hanya diam tak bisa berbuat banyak. "Lo kenapa lagi sih, Pit?", gumamnya pelan.
*****
Shera berjalan dengan perasaan lega. Berada disatu tempat yang sama dengan Cakra sama saja olahraga jantung baginya.
Akhir-akhir ini cowok itu selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Intensitas Cakra menghinanya juga sudah mulai berkurang.
Shera menganggapnya sebagai bentuk perhatian yang lebih. Tapi, saat ia melihat Cakra dan Tania, ia kembali ditampar oleh kenyataan.
Bahwa ia hanyalah Shera, yang sampai kapanpun tak berarti penting siapa-siapa bagi orang lain, kecuali sang ayah.
Senyum Shera mengembang saat makanan lezat yang Meisy traktir untuknya di kafe bisa ia bungkus dan ia bisa makan bersama ayahnya saat di rumah.
Shera nampak meneliti jalan, hendak menyeberang. Kepalanya celingak celinguk ke kanan kiri. Melihat tak akan kendaraan yang melintas, Shera mulai menyeberangi jalan. Jalan sambil mencari angkutan umum yang bisa membawanya kembali ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Choice
Teen FictionPutus cinta saat masih duduk di bangku SMP nyatanya membuat Cakra berlaku seorang pemuda yang sangat menyebalkan. Tak ada hari bagi pemuda itu untuk tidak membuat kekacauan. Ada satu hal yang sangat senang Cakra lakukan selain berbuat onar. Ia senan...