My Ice Prince 30

9.8K 347 0
                                    

Ini hari terakhir Ayra untuk bisa membuktikan bahwa ia bukanlah orang yang menyebarkan identitas Angga. Tapi, Ayra sama sekali tidak mendapat petunjuk satupun. Ia takut gagal membuktikan jika apa yang ada dipikiran Angga selama ini adalah salah.

Kemarin Ayra telah bertemu dengan Irene dan menceritakan semua kejadian yang dialaminya setelah pindah ke Indonesia. Termasuk Angga yang hanya memberinya waktu dua hari untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah pelaku yang menyebarkan identitas Angga sebagai cucu sekaligus pewaris dari pemilik sekolah.

Ayra masih memikirkan bagaimana caranya agar Angga bisa percaya padanya. Apakah Ayra kan berhasil untuk membuktikannya hari ini. Ia sama sekali tidak ingin ada kesalah pahaman antara dirinya dengan Angga.

Tok..tok...tok....

Seseorang mengetuk pintu kamar Ayra. Ayra yang mendengarnya lalu berjalan dan membuka pintu itu. Dilihatnya Evan dengan seragam khas SMA Harapan Bangsa sama seperti yang ia kenakan saat ini. Mulai beberapa hari yang lalu, Evan selalu berangkat dan pulang bersama Ayra.

"Ambil tas lo gih, kita berangkat sekarang," ucap Evan.

Ayra melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih menunjukkan pukul enam pagi, untuk apa Evan berangkat jam segini. Pintu gerbang sekolah saja belum tentu sudah dibuka.

"Lo kesambet?" tanya Ayra.

"Enak aja, sembarangan lo! Gue mau berangkat pagi karena ada urusan sama temen lama gue. Dia baru aja pindah," jawab Evan.

"Siapa?" tanya Ayra penasaran.

"Kepo lo!" ucap Evan.

"Idih, sensi amat masnya," ucap Ayra yang dihadiahi tatapan sinis dari Evan.

Dalam hari, Ayra hanya bisa menertawakan ekspresi Evan saat ini. Ia tak berani untuk menertawakan Evan seperti biasanya. Apalagi sepertinya sampai sekarang Evan masih patah hati. Dan kalo orang patah hati, diketawain sedikit saja pasti marah.

Padahal biasanya Evan adalah orang yang sering bercanda dengan Ayra. Mereka sudah layaknya kakak dan adik kandung. Kalau Ayroz sedang tidak berada di rumah, Evan sering menemani Ayra. Kadang Evan sampai pulang tengah malam karena Ayroz tak kunjung untuk kembali ke rumah.

"Udah lah, cepet ambil tas lo. Gue tunggu di mobil," ucap Evan yang lalu berjalan cepat menuruni anak tangga.

Sementara itu, Ayra kembali masuk ke kamarmya dan mengambil tas sekolahnya yang ia letakkan di atas tempat tidurnya. Perhatian Ayra jatuh pada benda pipih yang tak jauh dari tasnya. Benda itu berdering dan menampilkan sebuah nama. Kai.

Ayra buru-buru mengambil ponselnya. Ia mematikan ponselnya agar Kai tak dapat menghubunginya lagi. Sepertinya mulai hari ini ia harus mengganti nomor ponselnya jika ia ingin melupakan Kai.

"Ayra cepetan!" teriak Evan dari bawah.

Dengan cepat Ayra memasukkan ponselnya ke dalam saku miliknya. Ia kemudian mengambil tasnya lalu melangkah keluar kamarnya. Setelah mengunci pintu kamarnya, Ayra berjalan menuruni tangga menuju halaman depan. Setelah keluar dari rumah, ia tidak lupa untuk mengunci pintu rumahnya.

Ayroz sedang tidak berada di rumah, ia sudah berangkat sejak setengah enam pagi tadi. Itu sebabnya Evan ada di rumah Ayra. Kira-kira sekitar jam setengah enam kurang Evan sudah berada di rumah Ayra.

Setelah Ayra masuk, Evan langsung menjalankan mobilnya menuju sekolah. Hanya butuh waktu lima belas menit, mereka sudah sampai di sekolah. Evan memarkirkan mobilnya lalu turun bersama Ayra.

"Ra, lo duluan aja deh. Gue masih ada keperluan," ucap Evan.

"Kemana? Ngapain?" tanya Ayra.

"Ada urusan sama temen gue," ucap Evan.

Ayra hanyalah mengangguk lalu berjalan meninggalkan Evan yang masih berada di parkiran. Evan sendiri masih berada di depan mobilnya sambil sesekali mengecek ponselnya.

Evan terlihat sedang menunggu seseorang. Wajahnya terlihat beda dengan tadi saat di rumah Ayra. Sesekali ia melirik ke arah jam tangan yang ia kenakan.

"Evan!" seru seorang gadis tiba-tiba yang membuat Evan tersentak.

"Irene, kebiasaan ya lo." Gadis itu tersenyum.

"Lo gimana kabarnya, Van?" tanya gadis itu.

"Baik sih, lo sendiri gimana?" tanya Evan.

"Baik juga sih."

Irene dan Evan bersahabat sejak masih SMP. Saat Irene lulus SMP, ia ikut bersama papanya untuk tinggal di LA. Sudah hampir dua tahun mereka tidak bertemu. Apalagi, mereka hilang kontak selama Irene berada di LA. Kemarin saja mereka berdua tak sengaja ketemu. Dan mereka sama-sama tak menyangka jika akan bertemu kembali.

"Oh iya, tadi kok gue liat lo bareng sama cewek? Siapa? Pacar lo?" tanya Irene.

Irene tak melihat wajah orang yang tadi berangkat bersama dengan Evan. Ia hanya melihat cewek itu ketika sudah berjalan menuju kelas.

"Tadi sepupu gue. Mau gue kenalin? Siapa tau bisa jadi sahabat lo? Lo belum punya sahabat kan di sini?" tanya Evan.

"Gue punya kok, sahabat gue waktu di LA juga sekolah disini. Kemarin gue juga dikenalun sama temennya. Asik orangnya. Tapi buat nambah temen, gue mau," uawab Irene.

Sekarang para siswa mulai berdatangan. Namun, Evan dan Irene memilih untuk tetap berada dia area parkir. Namanya juga udah nggak ketemu lama, sekalinya ketemu pasti pengen lama-lama.

"Ekhem..." deham seseorang.

Rupanya Shea, Nindi, dan Tania baru saja berangkat dan melewati mereka. Nindi sengaja berdeham dan berhenti saat melewati mereka.

"Mantan udah move on tuh, Shea," ucap Nindi.

"Gue kira dia masih nangis-nangis. Ups,,," Tania ikut menambahkan. Evan bersikap seolah mereka bertiga tak berada di sini. Ia malas untuk meladeni mereka bertiga.

"Ren, gue denger suara tapi kok nggak ada wujudnya?" ucap Evan.

"Udahlah nggak usah urusin dia. Urusan kita sama sepupunya, bukan dia," ucap Shea.

"Maksud lo apa?!" bentak Evan.

"Maksud gue, bilangin sama sepupu lo tercinta itu untuk nggak cari masalah sama kita!" ucap Shea.

"Iya, bilangin tuh sama sepupu lo! Rasain kena masalah sama Angga, siapa suruh main-main sama kita," ucap Nindi.

"Nindi!" ucap Shea dan Tania serentak.

"Udah deh, mending kita pergi dari sini. Males gue liat muka orang munafik kayak dia," ucap Evan yang mengajak Irene pergi.

Irene yang sama sekali tak mengetahui permasalahannya hanya diam dan ikut bersama Evan meninggalkan mereka bertiga.

"Mereka siapa sih Van?" tanya Irene sambil berjalan.

"Cewek resek, tukang nyinyir pokoknya. Apalagi si Nindi, kek mak lampir.  Jangan deket-deket sama mereka pokoknya," ucap Evan yang memperingatkan Irene.

Sementara di parkiran, Shea masih menatap punggung cewek yang berjalan di samping Evan. "Dia salah satu target kita," ucap Shea.

"Buat apa sih Shea, kurang kerjaan amat ngurusin dia," ucap Nindi yang dihadiahi tatapan sinis dari Shea.

"Nin, diem aja deh," ucap Tania.

Mungkin mood Shea sedang berantakan pagi ini.

[My Ice Prince]

My Ice Prince [ Completed ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang