- One -

780 44 1
                                    

Membersihkan kacamataku yang basah akibat cuaca tak menentu dari kota ini, aku terus berjalan menyusuri jalan setapak ini. Hanya jalan inilah yang bisa membuatku sampai ke perpustakaan kota dengan lebih cepat. Jalan ini memang sepi, tapi percayalah, ini aman. Aku sudah ratusan kali melewati jalan ini dan tidak ada satupun kejadian buruk yang menimpaku. Oh, ada satu. Waktu itu kakiku terjerembab ke dalam lubang. Benar-benar memalukan.

"Halo, Abigail."

"Oh, hai. Selamat sore Nyonya Harper," sapaku lalu berjalan menuju rak-rak buku yang kutuju.

"You're A Writer, Jeff Goins," gumamku terus menjalankan jariku di buku- buku itu. Nah, ketemu.

Aku kembali menemui Nyonya Harper.

"Ah, buku ini bagus sekali. Keponakanku juga sangat menyukainya," katanya saat aku memberikan buku ini padanya.

"Oh ya? Kau punya keponakan? Di mana ia tinggal?"

"Tentu saja. Dia tinggal di Seattle. Namanya Trevor. Aku akan sangat senang sekali jika kalian berdua bisa bertemu. Ini, bukunya."

Aku meraih buku itu lalu memasukannya ke dalam tasku. "Terima kasih, Nyonya Harper. Sampai jumpa!"

***

Jika kalian melihat ruangan kerjaku sekarang, mungkin kalian akan menyematkan kata "pasar" untuk itu. Berlembar-lembar kertas berhamburan di atas ranjang, meja, dan juga lantai ruangan ini. Sudah hampir satu setengah jam aku berkutat dengan semua ini, tapi hasilnya nihil.

Kenapa tidak ada satu idepun yang muncul di kepalaku? Ayolah, Abby, berpikir. Deadlinenya dua hari lagi.

Aku menarik rambutku frustasi. Selama bekerja, bisa terhitung jari satu tangan aku terkena writer's block. Namun, kurasa ini adalah yang terparah.

"Abby?"

Aku yang sedari tadi memijat pelipisku langsung menoleh ketika dipanggil. "Oh, ada apa, Bu?"

"Kau melewatkan makan malam."

Ya ampun! Bagaimana bisa?!

"Maafkan aku, Bu. Aku harus menyelesaikan dua artikel lagi. Aku sungguh minta maaf."

Ia berjalan mendekatiku lalu mendekapku. "Kami minta maaf terpaksa membiarkanmu melakukan semua ini, Sayang."

"Ibu, sudah berapa kali kubilang aku tidak masalah. Ini cita-citaku. Untuk apa kau minta maaf padaku ketika aku sedang melakukan apa yang aku impikan?"

Ibu menghela nafas. "Jika saja saat itu kami tidak bangkrut, mungkin saat ini kau sedang kuliah."

Ya, beberapa tahun lalu perusahaan ayahku mengalami kebangkrutan. Mereka ditipu oleh seseorang yang hingga saat ini masih berkeliaran di luar sana. Persetan denganmu, brengsek!

Aku mengusap punggungnya perlahan. "Tidak ada gunanya menyesali apa yang telah berlalu. Aku dengan pekerjaanku sekarang dan ibu dengan usaha toko roti yang sedang ibu rintis. Kita akan baik-baik saja. Aku janji."

Ibu melepaskan pelukannya. "Akan kubawakan makananmu kemari, ya?"

Aku menggeleng. "Kau istirahat saja. Nanti aku akan mengambilnya sendiri. Aku menyayangimu, Bu."

IrresistibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang