- Thirty -

87 12 2
                                    

Selamat membaca!

Perkataan Harry berhasil membuatku tercengang. 

"Apa maksudmu?"

"Aku tahu kau mendengarku, Abigail. Aku tidak perlu mengulanginya."

Tanganku menghentikan Harry menjauh. "Katakan kau hanya bercanda."

"Aku tidak bercanda. Aku punya banyak hal yang harus kulakukan." Harry membawa kopernya lalu melangkah meninggalkanku di depan kamarnya.

Tidak butuh waktu lama bagi Harry untuk memasukkan koper ke mobilnya lalu membawa mobilnya pergi.

"Harry! Ace! Harry, kau brengsek!" Aku tidak peduli jika para pelayan di sini mendengar aku memaki Harry. "Berhenti! Jangan buka gerbangnya!" Aku berteriak pada security yang sudah bersiap membuka gerbang untuk Harry. "Kau buka gerbangnya, ucapkan selamat tinggal pada pekerjaanmu."

"Fuck, Abby! Apa maumu?!" 

"Kau tidak boleh pergi, brengsek," kataku setelah aku berada tepat di samping mobilnya. 

Harry yang duduk di dalam Bentley Mulliner Bacalar kuningnya menatapku balik lalu berkata, "Menyingkirlah dan biarkan aku hidup dengan tenang. Kau sudah cukup menyiksa selama hampir satu tahun ini."

"Excuse me?! Aku yang menyiksa? Kau yang menyiksaku."

"See? Kita berdua saling menyiksa. Jadi, biarkan si brengsek ini pergi. Kau bisa mendapatkan akhir yang bahagia, adik."

"Berhenti memanggilku seperti itu. Kau tahu akhir yang bahagia bagiku adalah bersamamu."

Ia mendecih. "Menyingkirlah."

"Ace."

"Abigail."

"Kau tidak boleh pergi."

"Buka gerbangnya," kata Harry pada security yang kurasa bingung harus menuruti perkataan Harry atau aku. "Dan kau tidak akan mengejarku. Apapun yang terjadi antara kita berhenti sampai di sini. Mengerti?" katanya padaku lagi.

"Kau tidak bisa seperti ini, Ace."

Harry memalingkan wajahnya dariku lalu menatap lurus ke gerbang yang sudah mulai terbuka.

"Kau brengsek."

Aku melihat mobil Harry perlahan meninggalkan gerbang hingga tidak tampak lagi. 

***

"Abby? Bagaimana?"

"Ya ya. Terserah kalian saja. Kalian tahu yang terbaik, kan?"

Ibu menghela nafas. "Abby, Harry pergi atas kemauannya sendiri."

"A-a-aku sedang tidak membicarakan Harry."

"Kau tahu sendiri ia bersikeras pergi untuk urusan bisnis," sambung ayah yang kubalas dengan senyuman tipis.

"Aku minta maaf. Aku hanya terlalu lelah. Aku harus pergi."

Sudah satu minggu semenjak kepergian Harry yang mendadak dan aku jauh dari kata 'baik-baik saja'. Puluhan bahkan ratusan pesan, termasuk direct message, email, panggilan sudah kukirim padanya. Tidak satupun dibalasnya. Baru saja aku sadar jika belakangan ini Harry menonaktifkan akun instagramnya dan mengganti nomor ponselnya.

Kuputuskan untuk berhenti berusaha.

Bukan karena aku tidak lagi mencintainya, tapi karena aku takut terhadap penolakan-penolakan yang akan kuterima lagi.

Setelah meninggalkan makan malam, aku memutuskan untuk pergi ke kantor ayah dan Harry. Jika aku tidak lagi memiliki Harry untuk berjuang bersamaku, aku akan berjuang sendiri. Bukan lagi untukku dan Harry, tapi untuk diriku sendiri, untuk masa depanku yang jelas tidak akan kuhabiskan untuk menjadi istri Louis Tomlinson, bajingan itu.

IrresistibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang