- Forty One -

79 12 26
                                    

Double update untuk menebus kengaretan update hehe. By the way, please enjoy this chapter since this is the last one.

 By the way, please enjoy this chapter since this is the last one

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Butuh beberapa waktu hingga aku sadar ada di mana aku saat ini. Ya, di tempat terakhir yang ingin kudatangi. Rumah, maksudku rumah Bruce dan Laura. Aku yakin tadi malam aku pasti pingsan di pesta lalu Barbara membawaku kemari. Dengan kepala yang masih pening, aku berusaha berdiri lalu mencari kunci mobilku.

"Ah!" pekik salah seorang pelayan di rumah ini yang nyaris kutabrak. "Maaf, aku tidak melihatmu, Tuan."

"Tidak masalah."

"Umm.."

"Apa ada yang ingin kau katakan?"

Ia terdiam sejenak lalu berkata, "Apa yang kau inginkan untuk sarapan, Tuan? Aku akan segera menyiapkannya."

Aku menggeleng. "Aku harus segera pergi. Apa Bruce atau Laura ada di rumah?" Baru saja aku menutup mulut, nenek sihir yang kumaksud muncul di belakangku.

"Harry, apa kau baik-baik saja? Masih pusing?"

"Aku baik. Aku harus pergi. Aku tidak berniat menginap di sini tadi malam."

"Harry, ini rumahmu. Kau bebas datang dan tidur di sini."

Aku tersenyum lalu melangkah pergi. Kalian ingat aku pernah mengatakan jika orang tuaku sudah meninggal? Ya, aku tidak main-main dengan ucapanku. Aku tidak akan meng— Segala hal yang kupikirkan berhenti begitu saja. Ada banyak orang yang tidak kukenal berlalu lalang di hadapanku. Ada dari mereka yang membawa rangkaian bunga, menyiapkan kursi, berbicara dengan ayah, dan yang terakhir kulihat adalah seseorang membawa pigura besar berisi foto seseorang.

Abby.

"Harry," kata Laura.

"Mengapa mereka memasang foto Abby?"

Laura mengusap lenganku perlahan lalu memelukku. "She's gone."

"Kau tidak bisa membohongiku lagi, Laura." Aku melepaskan diri dari pelukannya lalu bergegas pergi. Namun, kedua kakiku berhenti melangkah ketika aku menyadari dimana pigura besar tadi diletakkan, di sebelah peti berwarna putih.

Tidak.

"Harry." Itu Lucas Parsons.

Tiba-tiba saja aku teringat akan apa yang terjadi tadi malam. Aku sempat keluar untuk menerima panggilan dari laki-laki ini. Jika aku tidak salah ingat, ia sempat mengatakan sesuatu padaku sebelum aku pingsan. "We found a body."

"Tolong katakan semua ini hanya ulah Bruce dan Laura," pintaku padanya.

Alih-alih mengangguk, Parsons justru menggelengkan kepalanya, mengatakan jika semua ini bukan tipu muslihat. Semua ini nyata. Gadisku, kekasihku, Abbyku, sudah pergi dan aku tidak akan pernah bisa melihatnya lagi.

"Maaf. Bisa aku berbicara berdua dengan anakku?" Aku bahkan tidak sadar Bruce berjalan ke arahku dan Lucas Parsons. Lucas menepuk pundakku pelan sebelum akhirnya menyingkir.

"Aku ingin melihat wajahnya untuk yang terakhir kalinya. Kumohon. Aku tidak akan meminta apapun lagi, Ayah."

Bruce menghela nafas. "Aku sungguh ingin mengabulkan permintaanmu, Harry. Namun aku tidak bisa. Kondisi adikmu sangat tidak baik dan aku tidak ingin kau melihatnya dalam kondisi seperti itu."

"Kumohon. Aku tidak akan percaya sebelum aku melihat."

"Mr. Parsons?" panggil Bruce. "Bisa kau tunjukkan apa yang kau temukan di tubuh Abigail?"

Lucas menyodorkan sebuah kalung yang sangat familiar, sebuah kalung salib yang mirip dengan milikku. Aku masih ingat ketika Abby memberitahuku jika ia sengaja membeli kalung salib yang mirip dengan milikku. "Ini tidak mungkin," kataku. "Kalian pasti sedang memperdayaku. Abby masih ada di luar sana dan kita harus menemukannya. Jika kalian tidak ingin membantuku lagi, aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan menyerah sampai adikku kembali."

"Harry. Abby sudah pergi dengan tenang," kata Laura lembut.

"A-aku harus pergi."

Aku tidak bisa berada di sini lebih lama lagi. Aku menolak untuk percaya jika Abby sudah pergi. Abby tidak mungkin meninggalkanku. Ia pasti masih ada di suatu tempat yang tidak kuketahui. Ya, ia pasti sedang menunggu untuk diselamatkan. Aku yakin itu. Aku yakin.

***

"Kita semua berkumpul di sini untuk mengenang bagaimana Abigail Styles telah mewarnai kehidupan kita semua selama ini. Sebagai anak, adik, sahabat, teman, keluarga, kerabat, atau yang lainnya. Terlepas dari kesalahan besar yang dilakukannya, Abby tetap bagian dari keluarga Styles."

Bruce mengucapkan beberapa patah kata yang selanjutnya tidak lagi kuperhatikan. Jujur, aku sebenarnya tidak ingin berada di sini. Aku masih tidak ingin menerima kenyataan jika gadisku sudah tidak ada. Satu-satunya hal yang membuatku berdiri di sini adalah sebagian kecilku yang berkata: bagaimana jika semua ini benar dan aku tidak sempat mengantar Abby ke rumah terakhirnya?

Aku sungguh ingin membongkar betapa busuknya Bruce dan Laura pada semua orang yang ada di sini, tapi kuurungkan niatku. Abby berhak mendapat perpisahan yang layak dari orang-orang ini. Aku melihat Austin, Liam, dan beberapa rekan kerjanya yang tidak kuketahui namanya.

Aku menatap peti berwarna putih yang berada persis di depanku. Aku tidak bisa membayangkan tubuh wanita yang kucintai terbujur kaku di dalam sana.

Aku memeluk Gemma yang justru membuat tangisnya semakin keras. Aku tahu Gemma dan Abby sudah seperti saudara sendiri. Jadi aku sama sekali tidak heran Gemma merasa sangat kehilangan. Jika Gemma yang hanya sepupu Abby saja merasa kehilangan yang luar biasa, kalian bisa bayangkan bagaimana hancurnya diriku. Tidak ada lagi dahi dan pipi yang akan kukecup, bibir yang akan kucumbu, dan badan yang akan kudekap. Aku kehilangan gadisku, cintaku, rumahku, duniaku, untuk selamanya.

Aku tidak menyangka Abby akan pergi secepat ini. Ia meninggalkanku di saat kondisi kami sedang tidak baik-baik saja. Satu hal yang begitu kusesali adalah Abby pergi tanpa mengetahui siapa Rachel yang sesungguhnya. Aku yakin dia mendengar suara Rachel saat itu di telepon dan aku bahkan belum sempat menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

Jika saja aku tidak memutuskan untuk pergi seperti seorang pengecut, aku mungkin tidak akan kehilangan Abby. Jika saja aku memutuskan untuk segera pulang setelah kabar hubungan kami tersebar, Abby mungkin tidak harus bertemu dengan Jamie malam itu. Jika saja tadi malam aku tidak mendengarkan Barbara, aku mungkin masih bisa melihat wajah Abby untuk yang terakhir kalinya. Jika saja aku tidak bertindak bodoh dan egois, mungkin aku masih bisa memeluk gadisku.

It's not a goodbye. It's see you later. We'll meet again someday, Abbe. I promise. I'll never let you go again and I'll love you as if tomorrow doesn't exist. I love you beyond 'til death do us part'. I know we belong to each other both in this world and in afterlife. I love you so much, my Abigail.
 
 
 
 
TO BE CONTINUED

Tadi maksudnya ini chapter terakhir dari sudut pandangnya Harry huehehehe

See you soon, girls!

IrresistibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang