- Twenty Six -

97 10 5
                                    

Selamat membaca!
 
  
 

Harry langsung membongkar beberapa map yang ada di ruangannya. "Tomlinson, Tomlinson, Tomlinson," gumamnya. "Damn it!" Kemudian ia menunjukkan sebuah berkas padaku.

"Kau masih menyimpannya setelah sekian lama?"

Ia mengangguk. "Aku tidak berniat untuk bertemu Tomlinson dengan cara seperti ini. Padahal dulu aku membayangkan bagaimana aku akan menyeretnya ke penjara untuk menemani kedua rekannya."

"Jika yang melakukan hal ini adalah Philip Tomlinson, apa itu berarti Louis adalah putranya?"

"Bisa jadi. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari bukti yang lebih banyak lagi untuk menjatuhkan Louis lalu kita laporkan pada polisi. Aku sudah punya nomor beberapa detektif swasta yang cukup ha-"

"Apa kau lupa bahwa Louis sudah memegang kartu kita?" Aku merutuki diriku yang memperkeruh keadaan. Aku tahu aku seharusnya tidak melontarkan kata-kata itu di saat seperti ini, tapi entah bagaimana kata-kata itu terlepas begitu saja. Dan perkataanku tadi membuat Harry kumat. Aku seperti tertarik kembali pada kejadian malam itu. Untuk pertama kalinya, aku melihat Harry kesetanan. 

"Apa? Apa yang terjadi? Kau tidak boleh sembarangan masuk ke rumah kami!"

Laki-laki itu menunjukkan sebuah surat yang tidak bisa kubaca dengan jelas karena ia menunjukkannya dengan sangat cepat. Hanya satu kalimat yang sempat kubaca, dan itu adalah "Surat Perintah Penyitaan". Aku masih ingat betul bagaimana kencangnya jantungku bergedup menyaksikan beberapa orang yang tidak dikenal masuk ke rumahku secara paksa dan tidak ada yang bisa dilakukan baik ayah maupun ibu.

Ayah dan ibu nampak sama sekali tidak terkejut dengan masuknya orang-orang asing ini. Berbeda dengan Harry yang menentang mati-matian. Ia terus meneriaki laki-laki tadi sambil sesekali mengumpat. Namun laki-laki tadi hanya memandangnya sebentar lalu berpaling. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan. Mungkin ia hanya memandang Harry sebagai "anak remaja yang badung".

"Ayah, lakukan sesuatu! Mereka tidak bisa menyita rumah kita! Ayah, Ibu! Abby, kau jangan diam saja! Lakukan sesuatu!"

Hingga saat ini, kejadian itu masih mampu membuatku bergedik ngeri. Amarah dan teriakan Harry membuatku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak kembali membuat Harry menampilkan sisi iblisnya.

Namun, lamunanku buyar karena pintu ruangan Harry tiba-tiba terbuka dan seorang wanita, yang tidak lain adalah Barbara, masuk. "Harry, apa yang terjadi?!"

Mataku mengikuti arah pandangnya yang menuju pada Harry dan meja kantornya yang berantakan, ditambah dengan vas bunga yang tidak lagi berbentuk di atas lantai. Gadis batinku menangis melihat semua ini. "Kau bisa pulang, Barbara."

"Tapi aku tidak pulang sebelum Ha—maksudku Tuan Styles pulang."

"Tidak apa. Pulanglah. Aku memaksa."

"Baiklah, Nona Styles. Saya permisi."

Beruntung Barbara bukan wanita yang banyak bertanya. Dengan segera ia menutup kembali pintu ruangan Harry. Bisa kuintip dari jendela, ia segera membereskan barangnya lalu bersiap pulang. 

"Harry.. Aku sungguh minta maaf aku tidak bisa membaca gelagat Louis. Jika saja aku lebih cerdas sedikit saja, kita tidak mungkin ada di posisi seperti ini."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
IrresistibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang