***
Anna menderap melalui lorong panjang di lantai tiga. Kakinya yang tak beralas, menuruni liukan tangga marmer dengan tergesa-gesa. Sembari menyibak rambut yang menghalangi pandangan, gadis itu menoleh ke kanan dan kiri begitu tiba di lantai dasar dengan napas terengah.
"Dimana pria itu!" desah Anna dengan napas memburu. Biasanya ia bisa melihat sosok Marcus yang dicarinya berkeliaran di lantai bawah saat pagi. Namun, ia tak menjumpai sosoknya saat ini. Ia pun berjalan menuju ruang kerja sang ayah dan mendapati seorang penjaga.
"Dimana Ayah?"
"Tuan Hamilton sudah berangkat, Nona."
"Marcus?"
"Begitu juga Tuan Marcus, dia bahkan sudah pergi sejak tengah malam tadi."
Seketika dahi Anna mengerut, dadanya bergemuruh hebat karena rasa khawatir yang memuncak. Dengan langkah lunglai, Anna kembali ke kamarnya. Ingatannya berputar malam tadi.
Gadis itu tertunduk, bukan menyesali apa yang mereka lalukan semalam, tetapi memikirkan bagaimana nasib Damian sekarang. Kepergian pria itu begitu mendadak. Anna tak mengerti. Kepergian Marcus juga membuat gadis itu kian dilanda kekhawatiran.
Apakah pria itu ketahuan?
Tubuh Anna nyaris terhuyung saat pemikiran itu melintas di benaknya. Marcus pasti akan menghukumnya. Anna sungguh yakin akan hal itu. Apakah Damian sudah tahu jika identitasnya terbongkar? Oleh karena itu dia meninggalkannya?
Beragam pemikiran berjejalan di kepala Anna. Gadis itu menjerit frustasi dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Ia tak tahu harus berbuat apa. Menunggu sesuatu hal yang tak pasti itu sulit. Anna tak tahu kapan Tuhan akan mempertemukan mereka kembali. Mengetahui kondisi pria itu saat ini saja tak mampu. Lalu, bagaimana Anna bisa tenang menunggu?
Sekian putaran menit seakan berlalu dengan lambat, dengan langkah berat Anna memasuki kamar mandi. Menatap pantulan dirinya di cermin. Kacau. Hanya beberapa jam semenjak pria itu meninggalkannya dan ia sudah sekacau ini.
Anna sungguh tak menyangka, sudah sejauh itukah perasannya? Apakah Damian pun memiliki perasaan yang sama? Cukupkah malam panjang tadi menjadi bukti perasaan Damian padanya. Bagaimana jika semalam hanyalah hasrat sesaat baginya? Anna tak tahu. Gadis itu sungguh tak tahu.
***
Damian bisa merasakan ujung pistol menyentuh kepalanya. Pria itu mengangkat sudut bibirnya dan beranjak dengan pelan, kemudian berbalik. Menatap Marcus yang memasang raut penuh amarah tertahan.
"Bawa dia!"
Tepat setelah itu, beberapa penjaga mengunci tangannya ke belakang dengan borgol. Kemudian menggiringnya keluar dari kamar. Untuk terakhir kalinya, Damian memandang pintu kamar Anna yang tertutup rapat. Sejenak ia memejamkan matanya. Meminta sebuah permohonan kepada Tuhan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Ya, untuk pertama kalinya Damian berharap Tuhan mengizinkannya hidup lebih lama. Ada seseorang yang ingin ia jaga, untuk selamanya. Selain keluarganya tentu saja.
Dua orang penjaga menggiringnya memasuki sebuah mobil. Hanya sesaat setelah Damian mendudukkan diri, seseorang menancapakan sebuah jarum suntik, tepat di lehernya. Damian mengerang lirih sebelum jatuh tak sadarkan diri.
Hawa dingin yang berembus mulai merambat. Menggigilkan badan dan menusuk hingga ke tulang. Aroma karat menguar beradu dengan debu. Damian meringis kecil saat merasakan tendangan kuat di ulu hatinya. Matanya mengerjap saat kepalanya mendongak dengan paksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
ActionEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...