This chapter contains mature content for graphic of violences.
Please, read at your own discretion!***
Anna tercenung, seperti kehilangan dirinya saat sosok yang teramat ingin dilihatnya tak menunjukkan diri. Gadis itu pasrah ketika Emyr mendorong paksa tubuhnya memasuki mobil. Suara Emyr terdengar jauh dari pendengarannya, walau dia duduk tepat di samping gadis itu. Anna memandang kediaman Jose yang semakin jauh dari jangkauan, hingga pandangan gadis itu memburam oleh airmata.
Gadis itu mengusap kasar kedua matanya ketika terlintas wajah Damian yang terluka saat melihatnya menangis. Pria itu terluka saat melihatnya menangis. Saat tangan gadis itu menyeka airmata, Anna menyadari noda merah di kedua tangannya. Jemari gadis itu sontak gemetar saat teringat kalimat Emyr padanya.
"Apa yang kaulihat, Anna? Itu darah kekasihmu, rasanya menyenangkan melihatnya meregang nyawa sendirian." Anna tak bisa menenangkan jantungnya yang bertalu-talu ketika mendengar hal itu. Apa Emyr sunguh-sungguh? Bagaimana jika Damian benar-benar terluka? Membayangkannya saja membuat dada Anna seakan dihimpit bebatuan. Sesak dan menyakitkan.
"Apa yang kaulakukan padanya!?" desis Anna dengan ekspresi menahan amarah. Emyr memasang tampang terkejut sebelum gelegar tawa memenuhi penjuru mobil.
"Siapa yang mengajarimu seperti ini, gadis nakal?" Emyr mendekatkan tubuhnya, menangkup dagu Anna dengan sebelah tangan. Pria itu menyeringai saat Anna berusaha berontak.
Buagh
Sebuah keberanian menguasai Anna untuk sesaat. Kepalan tangannya mendarat dengan mulus di wajah Emyr Caballeros. Pria itu tampak terkejut sebelum kembali memasang seringai meremehkan, ia memandang Anna dan menghadiahinya tatapan tajam sembari menjilat ujung bibirnya yang berdarah. Detik berikutnya, sebuah pukulan menghantam wajah gadis itu, disusul tamparan dan pukulan lainnya.
Anna menjerit dan terisak dengan gemetar ketika Emyr menghentikan pukulannya dan menyumpah. Gadis itu beringsut menjauh sejauh mungkin dari pria mengerikan di sampingnya tersebut. Tangan gemetar gadis itu bergerak menyentuh dadanya, di mana kalung pemberian Damian menjuntai di balik baju yang ia kenakan. Bisakah ia berharap jika pria itu masih hidup? Bisakah ia berharap pria itu datang?
"Menangislah lebih keras, Anna!" Emyr meringsek ke arah tubuhnya, menghimpit gadis itu seraya berteriak. Tubuh Anna menggigil gemetar. Pria gila itu menyeringai kegirangan dan semakin mendekatkan dirinya. Anna tercekat ketika tangan pria itu kembali menyentuh tubuhnya. Mengusap bahunya dengan keras dan panas. Ia mengecup telinga Anna sebelum berbisik.
"Aku tak sabar merobek pakaian sialanmu ini, Anna!" Gadis itu sontak membeku dalam ketegangan dan rasa takut luar biasa. Pria itu jelas lebih dari mampu untuk menyiksanya, apalagi melakukan hal itu. Anna yakin pria gila itu bisa bertindak apapun kepadanya.
***
Tubuh Anna terhempas membentur marmer mengilap. Gadis itu mendongak untuk melihat Emyr yang melangkah ke arahannya dengan seringai penuh kemenangan. Lelaki itu berjongkok, merenggut dagu Anna dengan tangan besarnya. Ia mengernyit saat tak mendapati gadis itu menangis, ada apa? Apa pukulannya kurang keras?
Emyr memerhatikan memar di wajah Anna, hasil perbuatannya, tentu saja. Astaga, lihat betapa menyedihkannya gadis itu. Tapi, ia masih bertingkah sombong dan memandangnya tanpa rasa takut.
"Siapa yang mengajarimu memandang seperti itu, Anna?" Emyr mencemooh, melepaskan cengkeramannya sembari memandang gadis itu dengan tatapan merendahkan.
Anna hanya terdiam. Surai emasnya jatuh menutupi sebagian wajahnya. Ia gemetar, gadis itu tak bisa berbohong jika dirinya sangat ketakutan. Tapi, Anna tak mau menyerah dan menunjukkan kelemahannya itu. Emyr menyukai kelemahannya, pria itu senang melihatnya menderita, menangis, dan memohon belas kasih. Dan Anna takkan memberikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
ActionEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...