Chapter 16 - Wrong

4.1K 388 18
                                    

***

Anna menatap mobil hitam yang kini  berjalan menjauh. Ia melambaikan tangannya, walau tahu jika Damian tidak akan melihatnya. Gadis itu masih berdiri mematung, meremat jaket pria yang menyelimuti tubuhnya—jaket kulit Damian. Pandangannya tak lepas dari mobil Damian hingga hilang di belokan jalan.

Gadis itu menoleh ke belakang, menatap mansion megah yang berada sepuluh meter di depannya—penjaranya. Ia berjalan gontai saat beberapa penjaga mulai menyadari kedatangannya. Mereka pun membuka gerbang setinggi lebih dari dua meter yang terbuat dari besi kokoh.

Setapak panjang membelah rerumputan, diterangi remang lampu yang berwarna keemasan. Anna menghela napas kesekian kalinya, seraya memandang langkah kakinya sendiri. Ia mendongak, membuat pandangannya bersirobok dengan netra pekat seorang pria.

Seketika, kilasan kejadian yang ia lihat malam itu pun langsung melintas kala melihat sosok paruh baya yang menyambutnya dengan senyuman.

"Ah, puteriku ... Marcus memang bisa diandalkan." Hamilton masih mempertahankan senyumnya. Tangannya terbuka, berniat memberikan sebuah pelukan pada sang puteri. Tetapi, anak satu-satunya itu memilih berlalu tanpa menatapnya lebih lama.

"Aku pulang sendiri, bukan karena Marcus." tukas Anna dan berlalu masuk. Mengabaikan sang ayah yang segera menyusulnya.

"Anna, Anna ... Maafkan, Daddy ... " pria itu mencekal lengan puterinya dan memandang dengan raut penuh sesal.

"Dad bilang sangat mencintai Mom, tapi apa yang kau lakukan dengan wanita itu!" gadis itu lelah menahan kesabaran, kejadian itu masih sangat jelas di ingatannya. Bagaimana sang ayah mencumbu seorang perempuan muda dengan amat liar. Perempuan itu bahkan lebih cocok menjadi anaknya.

"Kau bilang kau sangat mencintai Mom, kau bilang tidak akan jatuh pada wanita manapun walau dia sudah meninggal. Kau pembohong! Dan Anna benci pembohong!" Anna jatuh ke lantai dan terisak hebat. Ia selalu merutuki dirinya yang tak mampu berbuat apapun. Bahkan hanya untuk mengingat bagaimana ibunya.

"Anna ... Maafkan Daddy, Dad sangat menyesal." pria itu berusaha memeluk puterinya, walau sempat mendapat penolakan, akhirnya gadis itu menerima pelukannya. Hanya sesaat sebelum Anna melepaskan diri dan menjauh.

Hamilton memandang langkah puterinya menuju lantai dua. Pandangannya menajam kala melihat jaket pria di genggamam gadis itu. Alisnya mencuram dan tangannya segera merogoh ponsel dari saku celana.

"Marcus, ke ruanganku sekarang."

***

Anna membuka pintu kamarnya perlahan, memandang ruangan luas yang terasa begitu suram. Semburat cahaya matahari mulai menerobos masuk lewat celah tirai yang terbuka.

Kamar yang sama, suasana yang sama. Ruangan megah yang menjadi penjaranya selama bertahun-tahun. Gadis itu menutup pintu kamarnya dan bergerak menaiki ranjang.

Ia merebahkan tubuh mungilnya di ranjang super besar yang berseperai merah muda. Tangannya memeluk erat jaket hitam milik Damian, menghidu aroma maskulin yang begitu kuat, menenangkan pikirannya.

Gadis itu mengigit bibirnya, ingatanya berputar bagaimana Damian menciumnya. Jejak hangat itu seakan masih terasa di bibirnya. Tanpa sadar wajah Anna memerah, bibirnya membentuk segaris senyum tertahan. Hanya sesaat, wajah gadis itu berubah muram.

Saat ia mengambil keputusan untuk pulang, sama dengan ia kembali ke penjaranya. Ia takkan bisa menemui pria bermanik secerah langit itu lagi. Mata yang selalu membiusnya, menghipnotisnya, menjeratnya.

The Apollo : Other SidesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang