***
"Tuan, sesuatu te-"
"Sudahlah, Ivan. Aku percaya padamu ... Anna pasti akan baik-baik saja bersamamu. Aku sibuk sekali sekarang. Sudah, ya."
Sambungan terputus. Damian menghela napas dan menjauhkan ponsel dari depan telinganya. Ia memandang Anna yang duduk termenung menghadap jendela besar di ruang kamarnya. Sweater merah muda membungkus tubuhnya yang kini tampak begitu ringkih. Wajahnya kusut dengan jejak airmata yang mengering. Tampak segelas cokelat panas baru sudah berada di tangannya yang masih gemetar, walau pelan.
"Sudah kubilang. Pria itu takkan peduli." suara Anna terdengar lemah, kalimat gadis itu membuat hati Damian seakan mencelos. Lebih karena melihat wajah Anna yang tampak begitu kecewa. Disaat seperti ini, ia sangat membutuhkan orang terdekatnya. Namun, sang ayah malah tak bisa diharapkan.
Dalam diam, Damian meraih selimut tipis dan meyelimutkannya ke tubuh Anna. Ia meraih cangkir di pangkuan gadis itu dan menangkup kedua tangannya. Berusaha menyalurkan kehangatan. Anna menoleh, genggaman Damian begitu besar dan hangat melingkupi tangan mungilnya yang dingin. Sejurus kemudian, pandangannya jatuh pada cairan yang merembes di bahu pria itu. Ia langsung teringat saat Damian mendobrak pintu kaca untuk menyelamatkannya.
"Kau terluka." gumamnya lirih.
Damian menoleh, terkejut saat mendapati kemejanya yang memerah. Sejak tadi, ia tak merasakan apapun, hanya ada kemarahan karena ia merasa lalai saat menjaga Anna. Hanya gadis itu yang terus memenuhi pikirannya.
"Tidak apa-apa."
"Damian ..." pria itu menoleh, mendapati kedua manik Anna yang berkilat basah. Cairan itu berkumpul dan nyaris jatuh dari pelupuk matanya. Pandangan Damian nanar saat melihat warna keunguan di area rahang Anna. Belum lali dengan jejak tamparan yang terlihat kontras di kulit pucat gadis itu.
"Kenapa kau melindungiku?" dan cairan itu terjatuh begitu saja. Melihatnya, Damian seakan kembali kehilangan kewarasannya, kontrol akan dirinya. Dadanya tercabik saat melihat Anna menangis. Lagi-lagi, ia mengecup bibir ranum di depannya. Berharap mampu ikut merasakan sakit yang gadis itu rasakan. Berharap Anna mau berbagi dengannya.
"Jangan menangis ..." ujar Damian dengan suara lembut, serupa berbisik. Namun, malah membuat Anna semakin berlinang airmata. Segera, Damian mengecupnya kembali.
Gadis itu memejamkan matanya, untuk pertama kali ia membalas ciuman Damian. Pria yang masih menyimpan begitu banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang berjejalan di benaknya. Pria yang mengatakan akan selalu melindunginya. Pria yang telah menjadi pemilik hatinya.
***
Damian mengembuskan napas, memandang Anna yang akhirnya bisa terlelap. Pandangannya jatuh pada mata bengkak gadis itu. Nyaris seharian ia menangis, dan akhirnya ia bisa tertidur—mungkin karena lelah. Pria itu menutup pintu kamar Anna. Berbalik untuk segera menuju kamarnya, namun ia mendapati Marcus telah berdiri di hadapannya.
"Ikut aku!" perintahnya. Damian hanya diam dan mengikuti langkah Marcus sambil mengenakan jasnya, menutup kemejanya yang ternoda darah.
Mereka berjalan menuju ruang kerja Hamilton. Ya, Damian tahu karena ia pernah menerobos masuk ke sana bersama rekan-rekannya.
Di balik meja kerjanya, Hamilton duduk dengan raut dinginnya. Ia memandang Damian dengan pandangan yang sarat akan kemarahan.
"Aku membayarmu untuk menjaganya!" bentaknya langsung. Damian masih bergeming dengan wajah tanpa ekspresi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
ActionEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...