***"Damian!" Anna hanya mampu mendengar jeritannya sendiri. Refleks, tentu saja, tak peduli jika orang lain mendengarnya memanggil nama itu. Sebaik apapun Damian berusaha menjadi sosok Ivan, hanya Damian-lah yang selalu terlintas pertama kali dalam benaknya.
Airmata Anna tumpah begitu saja saat melihat tubuh Damian tersentak oleh peluru dan tersungkur di jalan keras yang berlapis salju.
Tanpa pikir panjang, Anna melangkah turun dari dalam mobil. Menghambur ke arah Damian yang tergeletak dan berusaha bangkit dengan susah payah. Tetapi, langkah gadis itu pun terhenti. Ia bersumpah—merutuki dirinya—karena telah bertindak gegabah.
" ... Aku akan melindungimu dari belakang. Kunci pintunya sampai aku memintamu membukanya."
Anna menelan ludahnya susah payah. Ia mengabaikan kalimat pria itu. Kini, sebuah pistol dingin menempel tepat di tengah dahinya. Seringai iblis dari sosok Emyr membuat tubuhnya meremang. Masih dengan tangan menodongkan senjata, Emyr bergerak menginjak lubang di punggung Damian menggunakan sepatunya. Sedetik kemudian, Damian mengerang, merasakan sakit luar biasa.
Anna menjerit histeris, tubuhnya terhuyung dan ambruk di lantai dengan posisi terduduk. Tangannya membekap mulut kuat-kuat, berusaha keras supaya tak menjerit. Kelereng hijaunya bergerak risau kala melihat tubuh Damian yang tergeletak tengkurap tiga meter dari posisinya.
Apakah dia sudah meninggal?
Anna menggeleng kuat-kuat, mengenyahkan bayangan mengerikan itu dari benaknya. Emyr mengangkat kakinya dan berjongkok, menuntut Anna mendongak dengan ujung pistolnya. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar kala melihat bulir jernih membasahi pipi Anna yang seperti pualam.
"Menangislah!" Emyr berbisik di sepanjang leher Anna, napasnya hangat menerpa kulit. Membuat gadis itu menggelinjang tak nyaman.
Emyr menyusuri airmata Anna menggunakan ujung pistolnya. Menikmati raut ketakutan yang terpancar di wajah gadis itu. Ia sangat menyukainya. Dalam benaknya, telah berkelebat berbagai hal yang akan ia lakukan demi membuat Anna berderai air mata dan menjeritkan namanya.
Gila. Ya, Emyr memang sudah gila. Saat Damian selalu berusaha menjaga agar airmata Anna takkan tumpah, Emyr akan berusaha keras untuk membuat gadis itu menangis. Ia akan dengan sangat bahagia menikmati ekspresi kesakitan dari Anna.
Obsesi gila. Emyr terobsesi setengah mati sejak melihat Anna untuk pertama kalinya. Ada rasa puas luar biasa saat melihat gadis itu terisak dan bersimpuh di hadapannya. Menangisi bodyguard malang yang tak berguna.
Tetapi, mungkin Emyr harus memilih kata-kata yang tepat. Tidak, ia bahkan harus mengoreksi kalimatnya tentang 'bodyguard malang tak berguna' bahkan kalau perlu menariknya.
Emyr menyadarinya. Seseorang bergerak di belakang tubuhnya. Ya, ia sadar itu. Matanya yang serupa daun pun melirik, menatap sosok yang ia ketahui bernama Ivan Baxter, bangkit berdiri sembari menyeka darah di wajahnya karena sempat mencium aspal.
Putera Caballeros itu menyunggingkan senyum dengan alis terangkat. Dalam hitungan detik, ia telah menodongkan kembali pistolnya. Tepat ke arah Damian alias Ivan. Pria bersurai perak itu melirik sekilas. Memandang logam dingin yang sempat meledakkan pelurunya. Membuat proyektil itu bersarang di bahunya.
Kini, Damian yang mengangkat sebelah alis. Dengan langkah mantab, pria itu maju selangkah. Membiarkan ujung pistol Emyr menyentuh dada kirinya.
"Ivan!" Anna menjerit. Panik, tentu saja. Pistol itu melesak di dada Damian. Menempel di tubuhnya. Dalam satu tarikan kecil saja, pelurunya akan membuat jantung Damian berlubang seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
ActionEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...