***
Dua puluh tahun lalu
New Cassiopeia"Jangan banyak bicara dan makan dengan cepat!"
Dalam remang-remang, belasan bocah berusia lima tahun hingga awal remaja, duduk berjajar di lantai lembap. Di hadapan mereka terhidang seonggok roti yang bahkan tak layak disebut makanan.
Satu dari sekian bocah itu melirik sekitarnya sebelum memandang roti keras di hadapannya. Ia menghela napas dan mengusap jemari mungilnya yang kotor. Tangannya masih mengambang di udara saat hendak meraih rotinya, tetapi seseorang bergerak cepat menukar roti miliknya.
Kelereng bocah lelaki itu melebar. Sembari menunduk, ia melirik seorang bocah perempuan yang mungkin sedikit lebih tua darinya. Gadis cilik itu meringis kecil sembari menikmati roti keras yang ia tukar.
"Kau tak boleh makan yang sekeras ini, Ian!" ujarnya seraya mengunyah dengan cepat.
Damian kecil memandang gadis di depannya itu dengan raut terkejut, kemudian beralih ke roti dihadapannya. Teksturnya sedikit lebih empuk. Ya, sebagian dari mereka memang bisa lebih beruntung saat mendapat roti yang tak terlalu keras tiap malamnya.
Lucy, dia gadis cilik berusia delapan tahun yang sudah Damian anggap seperti kakaknya. Wajahnya bulat dengan hidung mungil dan mata besar yang cerah. Rambutnya serupa tembaga dan ia memiliki semangat yang tinggi. Mentalnya sudah seperti baja, ia bahkan selalu melindungi anak-anak lain yang menjadi korban aniaya.
Damian tak mengerti apapun, malam itu ia dipisahkan dari kakaknya. Berhari-hari hidup dengan sang ayah yang alkoholik. Hingga suatu malam, sang ayah mengantarnya pada seorang pria. Sejak saat itu, ia terjebak di tempat mengerikan ini. Melihat teman sebayanya menghilang tanpa jejak, satu demi satu.
Hari mengerikan pun tiba. Damian mendengar teriakan Lucy. Gadis cilik yang selalu rela dipukuli karena ketahuan menukar makanannya supaya Damian bisa makan lebih layak. Kala itu, ia masih terlalu takut untuk melawan. Damian hanya mampu meringkuk di balik dinding dingin, mendengar raungan Lucy yang memilukan hingga menghilang untuk selamanya.
Sejak saat itu, Damian kecil berubah. Ia tak segan melawan walau harus berakhir mendapat pukulan. Tetapi, ada kelegaan saat ia mampu melawan mereka walau sedikit. Tetapi, ia harus membayar mahal dengan mendapat penyiksaan lebih dari mereka. Penjahat-penjahat kotor yang mempekerjakan anak-anak.
Hari berganti dan bulan pun bergulir. Damian bertemu pria asing yang tanpa ia duga, berhasil membuatnya lepas dan menghirup udara bebas. Damian berhutang pada pria asing itu. Dengan senang hati ia balas membantu sebisanya. Pertemuan mereka pun mengantarkannya pada akhir yang tak pernah ia duga.
"Kau akan menyandang nama Jannivarsh di belakang namamu!"
"Damian Xavier Jannivarsh."
***
"Apa kau takut Anna?" suara Damian seperti bisikan yang pilu. Anna menelan ludah, masih tak memercayai penglihatannya. Selama ini, ia tak pernah melihat tubuh Damian sejelas ini.
Bekas luka bakar yang tak biasa. Warnanya nyaris menyatu dengan kulit liat Damian yang pucat. Hanya teksturnyalah yang membuat luka itu begitu kontras.
"T-tidak ..." mendengar itu membuat Damian menoleh.
"Apa kau jijik?"
Anna menelan ludah, memandang kelereng sejernih lautan di hadapannya. Ia bersumpah, melihat rapuh di kedua mata biru itu. Pria itu seakan kehilangan fokusnya untuk sesaat. Sungguh hal yang amat langka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
AksiyonEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...