***
Emyr terjatuh saat sebuah hantaman kuat mendarat di rahangnya, tepat saat ia berusaha menjangkau Anna. Damian melotot, menatap Emyr yang menyeka darah dari bibirnya.
"Jangan coba-coba menyentuhnya!" kalimat Damian terdengar begitu dingin dan penuh tekanan di tiap katanya. Pandangannya tajam, mengunci Emyr yang beringsut berdiri.
"Kau pikir siapa, huh!?" raung Emyr dengan penuh amarah.
"Tentunya bukan pria yang tak bisa menghargai perempuan sepertimu!" Damian mengetatkan rahang. Buku-buku jarinya memutih karena kepalan tangannya yang mengerat. Sekuat tenaga, ia menahan amarah.
Saat ini, dia hanya seorang Ivan Baxter, pengawal rendah yang dipekerjakan untuk menjaga seorang puteri. Tak seperti Damian yang bisa menghabisi Emyr sesuka hati, Ivan Baxter sejatinya tak memiliki kuasa apapun, bahkan untuk bicara. Apalagi melawan seoarang Emyr Caballeros. Dan Damian sangat merutuki posisinya kali ini.
"Dasar pengawal tak berguna! Berani sekali kau-"
"Saya hanya menjalankan tugas untuk melindungi Nona Anna dari manusia-manusia berengsek, contohnya Anda. Untuk itulah saya digaji." ujar Damian tenang.
Emyr berdecih, melayangkan tatapan penuh amarah kepada Anna, sebelum berujar, "Kita lihat saja nanti!" lalu melenggang pergi.
Damian menatap Anna, dengan cepat ia merebut pistol dari genggaman gadis itu. Tubuh gemetarnya melorot begitu saja, Damian bahkan baru menyadari jika keringat dingin telah membanjiri tubuh gadis itu.
"Anna, kau baik-baik saja?" tanya Damian cemas.
"Bawa aku pergi ..."
"Tentu, ten-"
"Pergi dari sini."
Damian terhenyak sesaat. Ada ketakutan besar yang tampak begitu nyata di mata Anna. Gadis itu masih gemetar dalam dekapannya, sementara tangannya mencengkeram setelan jas yang ia gunakan dengan erat.
"Baiklah."
***
Damian menatap Anna sekilas, gadis itu hanya diam, pandangannya kosong ke depan. Kedua tangannya bertaut gelisah, tampak jelas jika gadis itu masih ketakutan. Damian paham, kejadian tadi pasti sangat berat untuknya. Tak seharusnya gadis itu mengangkat senjata. Tak seharusnya tangan bersihnya menyentuh benda kotor itu.
Damian menghela napas, tangannya bergerak menyentuh pipi Anna dengan ujung jarinya. Menghapus setitik airmata yang menetes tanpa terasa. Gadis itu menoleh, mata hijau keemasan itu tampak membulat dengan kilat basah airmata.
"Jangan menangis." suara Damian seperti bisikan angin yang mengalun dengan lembut, membuat tubuh Anna seakan meremang, dadanya berdebar hebat karenanya.
Anna menarik sudut bibir sekilas, ia mengusap matanya yang basah. Kemudian, memperlebar senyuman. Memandang pria dingin yang selalu sukses membuat hatinya menghangat, memberikan rasa aman untuknya, merasa terlindungi ketika bersamanya.
Mobil Damian mulai melambat dan menepi di tepi jalan Bernes Lake. Anna melirik danau yang sempat ia lihat dari kafe milik John beberapa hari lalu. Kini, danau itu telah membeku dan berubah menjadi lapangan ice skating. Senyum gadis itu seketika terkembang. Ia menoleh ke arah Damian dengan kedua manik yang berbinar bahagia.
Untuk sesaat, Damian seakan terhipnotis oleh binar bahagia gadis itu. Ada kelegaan luar biasa kala melihat senyuman Anna. Senyum itu membuat hatinya menghangat, tanpa sadar bibirnya pun turut membentuk senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
AksiyonEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...