***
Damian mengerang tertahan setelah keduanya terguling menuruni bukit. Anna yang berada dalam dekapannya beringsut bangun dan berusaha memeriksa keadaan pria itu. "Damian, hei, bangun, kau baik-baik saja?"
Si pemilik nama hanya mengangguk sembari meringis dan meregangkan tubuhnya. "Ah, aku baik-baik saja. Tenanglah," Damian tersenyum singkat, mendapati raut Anna yang begitu khawatir, "kau baik-baik saja bukan?" dan gadis itu mengangguk.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Damian?"
"Kita akan menunggu." Keduanya bergegas meninggalkan dasar tebing dan mencari jalan untuk naik. Untuk beberapa waktu mereka menunggu guna memastikan orang-orang di rumah itu pergi. Setelah dirasa cukup, keduanya bergegas kembali ke rumah.
Berantakan. Hampir semua perabotan hancur berkeping-keping. Damian dan Anna berpencar untuk mencari sosok sang ibu. Hingga jeritan Anna seakan membekukan tubuh pria itu. Mungkinkah hal dalam pikirannya benar-benar terjadi? Damian bergegas menuju ruang tamu dan mendapati Anna bersimpuh di samping seorang wanita berlumur darah. Dua lubang peluru menghiasi dada Maria.
Lutut Damian terasa lemas dan tubuhnya pun meluruh ke lantai. Kedua matanya memanas, perlahan airmata meluncur melewati pipi dan rahangnya yang mengetat. Tidak ada kata yang mampu mendeskripsikan perasaannya kala itu. Sesingkat inikah pertemuan keduanya setelah sekian lama? Ada begitu banyak hal yang ingin ia ungkapan. Ada banyak tempat yang ingin ia tunjukkan. Ada beragam keinginan untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, semua hal itu hanyalah menjadi angan untuk selamanya.
Anna menoleh ketika mendapati Damian jatuh bersimpuh di belakangnya. Gadis itu bergegas mendekapnya. Membiarkan pria itu terisak dengan hebat dalam pelukannya. Bahu tegapnya melorot begitu saja. Rasa sakit dan rindu yang mungkin tumbuh di dalam hatinya selama ini luntur dan berganti kepedihan yang terlampau menyakitkan.
Baru saja ia kehilangan Louisa, figur pelindungnya saat masih kecil. Kakaknya, setelah sekian tahun takdir memisahkan mereka. Kematian Louisa menggiring Damian berjumpa dengan ibunya kembali. Namun, takdir tak memberi mereka cukup waktu setelah perpisahan yang begitu lama. Maria juga meninggalkannya untuk selamanya.
***
Damian menggenggam erat kotak beludru di tangannya. Pandangan pria itu terpancang pada rumah sang ibu yang kini dikelilingi garis polisi. Setelah membuat panggilan dengan telepon rumah di sana, Damian dan Anna bergegas meninggalkan rumah itu dengan berat hati. Bagaimana pun, kondisi Damian berstatus buronan sekarang. Akan sangat berisiko jika polisi mengendus aliansinya dengan Maria.
Polisi akan menyimpulkan bahwa Maria tewas di tangan perampok. Beberapa barang memang telah rusak, dan Damian sengaja mengambil beberapa barang untuk memperkuat bukti sebagai tanda-tanda perampokan. Untuk sementara biarlah demikian, namun Damian berjanji dalam hati, pembunuh Louisa dan Maria akan tetap menerima hukuman. Hamilton tidak akan bisa lari dari hukumannya.
"Ah, jadi namamu Brave?" Damian menoleh, melihat Anna mengelus anjing peliharaan sang ibu yang meringkuk nyaman di pangkuan. Gadis itu tampak begitu menyukainya. Melihatnya membuat Damian menarik segaris senyum kecil. Pria itu menyalakan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan kediaman sang ibu.
"Damian, kita akan ke mana?"
"Rumah teman." Damian menyahut singkat masih dengan pandangan fokus ke jalanan. Anna hanya mengangguk-angguk sebagai balasan. Ia mengerti bagaimana perasaan Damian sekarang. Walau tak ingat secara pasti, Anna cukup tahu bagaimana rasanya kehilangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
AksiEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...