***
Anna memandang penampilannya di depan cermin. Sebuah gaun selutut berwarna pastel membungkus tubuhnya dengan sempurna. "This is my size." Gadis itu menggumam nyaris tanpa suara, membiarkan Hannah menyodorkan sehelai syal yang tampak hangat dan nyaman.
"Anda sungguh cantik, Miss." Hannah mengulas senyum tulus. Membuat gadis muda yang nyaris seusia puterinya itu tersipu.
"Kau terlalu memujiku. Terima kasih sudah membantu, Hannah." Anna menatap kepala pelayan Jannivarsh yang mengangguk sopan ke arahnya.
"Apa kegiatan yang Anda ingin lakukan, Nona. Saya bisa membantu mengantar Anda di rumah ini."
Anna terdiam menatap halaman tengah yang diguyur salju tipis. Sekelebat ingatan melintas membuat tubuhnya limbung. "Nona!?" Hannah dengan sigap membantunya kembali seimbang.
"Ya Tuhan, Anda pucat, apa Anda baik-baik saja?"
"Um, Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan." Anna memberikan segaris senyum seraya mengabaikan denyutan di kepalanya. Gadis itu melangkah ke ranjang dan mendudukkan dirinya. Hannah masih tampak khawatir dan berusaha menawarkan bantuan.
"Aku akan beristirahat saja, Hannah. Terima kasih banyak."
Hannah pun memberikan segaris senyum sebelum pamit undur diri. Meninggalkan Anna yang masih menatap rinai salju di luar sana. "Apa itu barusan?"
Kelebatan ingatan itu tak seperti nyata. Anna hanya melihat tumpukan salju dan jembatan kayu di atas sungai beku. Mungkin kepingan ingatan dari masa lalunya, pikir gadis itu. Hanya sesaat, karena pada detik selanjutnya hanya ada sosok Damian yang mengisi kepalanya.
Anna mengintip dari pintu kamarnya, melihat lorong panjang yang mengarah ke sayap bangunan mansion. Gadis itu melangkah pelan, pandangannya menyapu sekeliling. Ia berusaha mengingat arah bangunan utama sebelum bisa mencapai sayap lain dari mansion tersebut. Setibanya di bangunan utama, Anna melihat beberapa perawat turun dari tangga. Gadis itupun meminta bantuan pada mereka untuk menunjukkan letak ruangan Damian.
Debaran jantung Anna semakin tak karuan, hanya tinggal beberapa langkah sebelum ia mencapai pintu di ujung lorong. Gadis itu mengembuskan napas pelan sebelum meraih gagang pintu. Saat itulah, Anna melihat sosok wanita mencium kening Damian yang terbaring, masih tak sadarkan diri.
Yonesha mendongak dan mendapati raut terkejut Anna yang kini berdiri di ambang pintu. Gadis itu tampak ragu dan sepertinya berniat untuk berbalik. Namun, Yonesha segera menahannya. "Hey, sweetheart, kemarilah. Aku tahu kau pasti ingin melihat kondisinya."
Anna tampak meragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan berjalan mendekat. Seketika pandangannya hanya tertuju pada Damian. Pria itu masih memejamkan matanya. Selimut menutup sebagian tubuhnya. Menyembunyikan perban tebal yang Anna lihat sebelumnya.
Yonesha memberikan ruang pada Anna agar ia bisa bersama sang putera. Kini hanya Anna dan Damian di ruangan itu. Hening, detik dari jarum jam pun terdengar begitu lirih. Hanya ada suara alat medis yang membantu menopang kehidupan pria itu. Jemari gemetar Anna berusaha menggenggam tangan Damian. Pria itu sama sekali tak bergerak. Seperti tertidur, tapi Anna tak tahu kapan pria itu akan bangun. Ia hanya bisa menunggu. Ia akan di sana, saat pria itu membuka mata.
Dan seperti itulah hari-hari berikutnya. Anggota illusion team, tetap menyusun beragam langkah serta menggabungkan bukti-bukti, sembari memulihkan diri. Zhayn Jannivarsh pun tampak sesekali memberikan nasihat. Sementara Anna, gadis itu cukup sering menghabiskan waktunya bersama Yonesha. Selanjutnya ia akan duduk berjam-jam di samping Damian. Bercerita tentang hari yang ia lalui bersama Yonesha di sana. Betapa ia merasa bersyukur karena kekosongan dalam dirinya perlahan terisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Apollo : Other Sides
AçãoEmpat agen intelijen internasional terpaksa menjadi buronan negara, dengan gadai nyawa untuk sebuah misi sekelas bunuh diri. Pemimpin mereka, Damian Xavier, dipertemukan oleh takdir dengan Anna. Gadis misterius yang ia jumpai di sebuah malam penuh k...