Chapter 37 - Tears

4K 387 85
                                    

Terlalu lama ga up, ehe, masih ada yang nunggu gak?

***

Kepala Anna berdentam hebat, sementara batin dan pikirannya terus berkecamuk. Ia pasrah saat lengan kokoh Damian kembali mendekapnya. Membawa tubuhnya terjun dari lantai lima belas dengan berbekal seutas tali. Rasa takut karena meloncat dari ketinggian seakan lenyap dari pikirannya saat bayangan sang ayah mengambil alih. Pisau, genangan darah, dan tubuh yang teronggok kaku. Hanya hal itu yang memenuhi pikirannya.

"Anna, kau baik-baik saja?" Damian mengguncang pelan bahunya. Gadis itu seperti tersesat dalam pemikirannya sendiri. Hal yang dilihatnya barusan memang bukan sesuatu yang mudah. Mengerikan, mungkin seperti itulah kata yang tepat untuk menggambarkannya.

"Anna?" gadis itu mendongak saat merasakan jemari dingin Damian menyentuh sisi wajahnya. Pria itu memandangnya dengan raut khawatir.

"Kita tak bisa terus berada di sini," Anna memberi anggukan sebagai responnya. Kemudian, Damian kembali menggandengnya dan membawa gadis itu berlari menuju area belakang club yang gelap.

"Kita akan pergi kemana?" tanya Anna saat pria itu menuntunnya menyusuri gang-gang sempit nan gelap. Botol-botol miras kosong bertebaran disepanjang gang. Tumpukan tong sampah yang mengeluarkan aroma kurang sedap pun juga teronggok di beberapa sisi.

"Tempat yang aman."

Selang seperempat jam, keduanya tiba di ujung gang yang menghadap ke jalanan ramai. Mereka pun segera membaur di keramaian. Tangan Damian tak lagi menggandeng Anna, tetapi merengkuh pundak gadis itu dalam dekapannya. Keduanya melangkah semakin cepat saat menyadari beberapa orang berseragam hitam tampak mengikuti.

Mereka berusaha bertingkah sewajar mungkin dan menenggelamkan diri dalam arus orang-orang yang berbaris untuk menaiki angkutan umum. Damian mendorong Anna untuk masuk, mereka menyelinap tanpa diketahui sang supir. Pria itu menuntun Anna ke sebuah kursi yang berada sedikit di belakang. Ia melirik ke arah pintu masuk, menyadari orang-orang yang mengejar mereka berusaha untuk masuk ke dalam bus, namun sang supir menegurnya karena bus sudah penuh. Ia tak ingin mengambil risiko dengan menampung lebih banyak penumpang.

Damian beringsut menghimpit Anna. Menyembunyikan gadis itu dari para pengawal yang berpotensi mengenalinya. Sekilas keduanya tampak seperti dua orang yang bercumbu tanpa malu di dalam bus. Anna menahan napas, merasakan deru hangat dari napas Damian yang menyapu dahinya. Pria itu melirik ke arah pintu bus, dimana beberapa orang berseragam hitam tampak berusaha untuk masuk.

Sejurus kemudian, Anna kepergok mengamati Damian yang tiba-tiba mengalihkan pandangan. Kini, menatapnya dengan sorot seperti biasa. Tak terbaca. Anna sadar ketika arah pandang Damian teralih pada luka di wajahnya. Rahang pria itu mengetat begitu saja karenanya.

"Kupastikan mereka akan mendapat balasan." Anna membulatkan mata saat Damian mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecupan seringan bulu di lukanya. Membuat rasa aneh menjalari tubuhnya, seakan darahnya tengah berdesir begitu hebat.

Selesai mengatakan hal itu pula, bus mulai melaju dengan perlahan dan berangsur normal. Damian menarik tubuhnya dan bersandar. Ia menghela napas berat sembari menatap kosong ke depan. Semua gerak-geriknya tak pernah lepas dari penglihatan Anna. Gadis itu menunduk, membuat pandangannya tanpa sengaja jatuh di tangan Damian. Buku-buku jarinya merah-keunguan, dengan ujung-ujung jari bagian dalam memerah karena tak tertutup sarung tangan kala harus mencengkram tali untuk menuruni gedung tadi.

Sungguh, tangan Anna begitu gatal untuk menyentuh jemari itu. Melakukan upaya yang mungkin mampu mengurangi rasa sakitnya. Namun, ia menyadari situasinya sekarang. Anna meremas jemarinya sendiri karenanya. Ia melirik ke samping dan mendapati Damian memejamkan mata. Beberapa lebam juga tampak menghiasi wajahnya yang berkulit pucat.

The Apollo : Other SidesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang