Chapter 46 - Hopes

1.9K 193 53
                                    

This chapter contains mature content for graphic of violence and bloody scenes.
Please, read at your own discretion!

***

Anna menggigit kuku jemarinya yang gemetaran. Dengan perasaan kalut, gadis itu terus mengedarkan pandangan. Berharap tak ada seseorang pun selain Damian yang akan menemukan keberadaannya di sana. Selebihnya, ia tak bisa tenang sebelum sosok Damian kembali muncul.

Menit-menit terasa begitu lambat. Gadis itu mengeratkan genggaman pada ponsel yang Damian berikan. Entah apa yang akan gadis itu lakukan jika Damian tak segera muncul tepat waktu. Lima belas menit. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan segera keluar. Anna hanya bisa mendengar kegaduhan yang samar. Entah apa yang terjadi di dalam, tetapi, suara gaduh itu mendadak menghilang. Memperparah kegelisahan yang Anna rasakan.

Apa Damian sudah mengakhiri semuanya? Apa pria itu baik baik saja? Apa dia terluka? Sial, Anna bahkan tak bisa mengontrol beragam asumsi yang menjejali kepalanya.

Gadis itu tak sadar telah menggigit tepian kukunya lebih keras, pandangan Anna saat ini terarah pada sekelompok orang yang tengah membawa Stewart Hamilton memasuki mobil dan meninggalkan mansion. Anna menelan ludah, kemudian menatap ujung jari tangannya yang mengeluarkan darah. "Pria itu, tak mati?" bisiknya kemudian.

Entah perasaan apa yang mengisi dadanya sekarang. Saat itu, Anna bahkan tak merasakan gemetar ketika tangannya menggenggam sisir dan menikam sang ayah. Apa ia sudah gila sekarang? Tidak ada yang tahu.

Di tengah kekalutan yang ia rasakan, Anna melihat beberapa mobil merapat menuju gerbang utama. Tak berselang lama setelah Hamilton meninggalkan mansion. Posisi area belakang yang lebih tinggi membuatnya dapat melihat situasi halaman depan dengan cukup jelas. Gadis itu mondar-mandir tanpa sadar, ia menatap ponsel dalam genggamannya dan membulatkan tekad. Ia pun menghubungi satu-satunya nomer yang tertera di sana.

Sedetik, tiga detik, lima detik, dan tersambung! Jantung Anna seakan ingin meloncat dari tempatnya. Ada sedikit kelegaan saat panggilan tersebut terhubung. "Halo?" ucap Anna ketika ia tak mendengar suara seseorang di seberang.

"Kami akan tiba dalam tiga menit."

"Sungguh?" Anna membekap mulutnya, sepertinya mereka memiliki harapan, "terimakasih."

Panggilan terputus, Anna menggenggam ponsel itu dengan erat. Mereka akan tiba segera, ia yakin Damian juga akan mengatasi semuanya dengan baik. Berbagai harapan dan hal positif mulai mendatangi pikiran Anna, namun hanya sesaat, suara ledakan pistol dari dalam mansion mengaburkan segalanya. Tubuh gadis itu gemetar, semua pemikiran positif di kepalanya lenyap. Tanpa pikir panjang, Anna berlari tergesa menuju bangunan mansion.

Lorong yang ia lalui dipenuhi pengawal bersimbah darah. Peluru bersarang di dada atau kepala mereka, beberapa tampak meregang nyawa, sekarat. Anna melangkah dengan hati-hati hingga ia mendengar suara pekelahian. Gadis itu merapatkan diri di tembok, mengintip dengan hati-hati. Seketika kedua matanya membelalak. Ia melihat dengan jelas saat Damian dan Emyr berguling, saling melancarkan serangan.

Anna tertegun, airmatanya meleleh tanpa sadar. Rasanya ia melihat sosok yang asing. Dia tidaklah seperti Damian yang ia kenal, pria yang selalu berusaha mengendalikan emosi serta menyembunyikan perasaannya. Pria itu sering menahan semuanya. Tapi, Anna melihatnya meledak sekarang. Ternyata Damian pun sama sepertinya, manusia yang manusiawi. Ia kehabisan waktu, bomnya meledak. Rasa sakit, dan beban di hatinya yang menumpuk, telah meledak.

"Berapa kali kau memukulnya, bedebah!?"

"Kau juga menyentuh rambutnya?"

Anna kembali membekap mulut, menahan isakan. Damian benar-benar melakukan semua ini karenanya? Entah Anna harus merasa senang atau khawatir. Pria itu nekat, suatu hal yang sangat kontras dengan sosoknya. Damian bukan pria impulsif. Tapi, pria itu terus bertindak yang bertentangan dengan sifatnya jika sudah berhubungan dengan Anna.

The Apollo : Other SidesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang