Chapter 14 - Daughter

4.3K 390 39
                                    

***

Anna beringsut membenarkan selimutnya, berusaha mencari kehangatan. Ia mulai bergerak gelisah dengan peluh dingin di wajahnya. Sesaat kemudian, gadis itu tersentak bangun dengan napas memburu, lagi-lagi mimpi buruk.

Anna merutuk, menyadari jika ia telah ketergantungan obat tidur itu. Ia tak pernah tidur tanpa mimpi buruk dan selalu terbangun di tengah malam. Gadis itu mendudukan dirinya, memandang jendela besar dengan tirai putih yang terawang.

Ia melangkah turun, menapaki karpet bulu lembut dan menuju depan jendela. Disingkapnya tirai terawang itu, membuat pandangannya jatuh pada hamparan gedung sejauh mata memandang. Di sisi lain, dengan jarak yang sangat jauh, Anna melihat pegunungan yang tampak gelap karena malam. Hanya ada kerlip lampu yang bersusun.

Ingin sekali Anna menjelajah seluruh Cassiopeia. Ia ingin melihat negerinya yang sangat cantik itu. Orang asing bahkan banyak yang telah berkeliling Cassiopeia, sedang dirinya? Ia bahkan lupa kapan terakhir kali mengunjungi taman kotanya sendiri. Apalagi berkeliling New Cassiopeia.

Kebebasan.

Salahkah jika ia mendambakannya?

Anna menghela napas, pandangannya beralih pada lukisan di sudut kamarnya. Gadis itu berjalan mendekat, memandang lukisan buatannya. Empat orang dengan senyum lebar, mereka Damian dan tiga rekannya. Anna memilih bertahan di tempat ini karena berharap ia bisa memperoleh kebebasan bersama mereka. Ia telah mendapat satu dari tiga hal yang ia inginkan di sini. Teman.

Gadis itu mengangkat kanvas lukisan tersebut, sebuah kanvas lain yang lebih kecil tersembunyi di belakangnya. Wajah Anna memerah melihat lukisannya. Ia tak sadar pernah melukisnya. Kala itu tangannya bergerak sesuai hatinya, membentuk garis-garis yang mencipta sosok Damian. Tangan pria itu terulur, menarik seorang gadis bersamanya. Seorang gadis yang tampak bebas, dengan senyum terkembang lebar.

Anna menutup wajahnya. Betapa memalukannya ia menggambar hal seperti itu, batinnya. Ia ingin sekali menghancurkan lukisan itu saking malunya. Namun, hatinya berontak, tak ingin. Anna menghela napas, teringat lukisan mata biru seseorang di rumahnya. Saat pertama kali bertemu Damian, ia tak menyangka jika lukisannya sangat mirip dengan pria itu. Ia bahkan belum pernah bertemu Damian saat melukisnya. Mungkinkah ini semua takdir? Batinya.

Anna tesenyum malu, menyadari debaran jantungnya mulai menggila kala memikirkan pria bermanik secerah langit itu. Hingga tubuhnya nyaris terlonjak kala mendengar suara pintu yang terbuka tiba-tiba.

***

"Tidak mungkin." Damian menggeleng pelan. Menatap foto seorang gadis dengan rambut pirang yang sangat cantik. Bibirnya mengulas senyum manis, sedang matanya tampak berbinar cerah.

"Ada ap-" kalimat Veira terputus kala melihat foto di tangan Damian. Gadis itu membekap mulutnya tak percaya. Hanya ada satu jawaban kenapa foto Anna bisa berada di meja seorang Stewart Hamilton.

Anna adalah bagian penting dari seorang Stewart Hamilton.

"Arianna Crysiant Hamilton?" Juan mengumam sembari menggeleng

"Tapi, isteri dan puteri Hamilton telah meninggal." Dante mengernyit. Teringat bagaimana gemparnya negeri saat mendengar keluarga politikus terkenal meninggal di sebuah kecelakaan.

Berbagai kilasan pun bermunculan dalam benak Damian. Anna yang kabur dari rumah, kesukaan gadis itu dalam melukis, pengakuannya yang tak pernah keluar rumah, kamar seorang gadis dan galeri seni yang ia lihat di lantai teratas. Semuanya mengarah pada satu jawaban.

Stewart Hamilton menyembunyikan puterinya dari dunia.

Tapi, kenapa?

Apa Anna mengetahui semua ini? Berbagai pertanyaan menjejal dalam otak Damian, membuat kepalanya berdentam.

The Apollo : Other SidesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang