Min Yoongi melempar ponselnya hingga membentur dinding kamar. Layarnya retak tak berbentuk, cukup kuat benturan tadi hingga membuat ponselnya pecah.
Yoongi menangis sendu, meratapi kebodohannya dan penyesalannya saat ini. Ia duduk dilantai, bersandar pada pinggiran kasur, masih mengenakan pakaian kotornya.
Orang-orang diluar sana masih ramai berkumpul untuk melihat jalannya otopsi. Sementara Yoongi nekat menerobos para polisi untuk berlari menuju kamar apartemennya.
Disini ia berada. Di dalam apartemennya yang sepi dan dingin, seperti tak ditinggali beberapa pekan. Yoongi menangis dengan keras, ia terus berteriak sambil memukuli kepalanya dengan tangannya sendiri.
Sesekali ia membenturkan belakang kepalanya pada kasur.
Ia menyesal.
Semuanya telah terjadi dan telah selesai. Yoongi bahkan tak tahu menahu dengan segala hal besar yang terjadi dalam kurun satu minggu. Ia merasa menjadi brengsek.
"Oppa..."
Yoongi menoleh pelan, dilihatnya wanita yang ia rindukan itu berdiri di samping pintu, bersembunyi pada dinding dengan bekas air mata diwajahnya.
Yoongi tahu kalau Yoonjin begitu takut ketika melihat Yoongi emosi seperti saat ini. Seperti orang gila. Menangis histeris sambil berteriak menyumpahi dirinya sendiri, menyakiti tubuhnya, semua ia lakukan diatas lantai yang dingin.
"Apa aku sejahat itu?" Lirih Yoongi sambil menatap Yoonjin dengan berlinang air mata.
Yoonjin hanya menggeleng, ia berusaha untuk menahan air matanya.
"Dia membutuhkanku. Kita sudah bersama sejak dulu, dia menganggapku sebagai kakak. Tapi aku hanya menganggapnya sebagai rekan kerja. Hiks.."
Yoonjin tak dapat lagi menahan air matanya.
"Aku membunuhnya, dia sudah mati." Ujar Yoongi semakin pelan. "LALU KENAPA AKU MASIH HIDUP?"
Yoonjin tersentak kaget. Yoongi kembali berteriak histeris dan memukuli dirinya sendiri. Wanita itu tak tahan, ia mencoba melawan ketakutannya. Ia berlari menuju Yoongi, dipeluknya pria itu dengan hangat.
Yoongi masih memukuli kepalanya, seperti orang idiot jika sedang marah atau sedih.
"Aku tak pantas hidup, untuk apa aku pulang? Untuk siapa aku hidup? Aku ini keterlaluan!" Celoteh Yoongi masih menyakiti dirinya sendiri.
Yoonjin meletakan dagunya pada puncak kepala Yoongi, memejamkan kedua matanya erat dan mencoba menulikan pendengarannya. Ia tak sanggup melihat pria itu tersakiti.
"Jangan begitu. Aku menunggumu disini, hiks.." kata Yoonjin yang mulai berani bicara.
"Semua orang yant ku sayangi meninggalkan ku. Karena apa? Karena aku egois, dingin, dan brengsek. Aku tak pernah bisa meminta untuk tetap berada di sisiku. Aku butuh orang-orang yang aku sayang. Aku menyayangi Hoseok seperti adik ku sendiri, bukan rekan kerja. Tapi aku tak pernah mengatakannya. Aku membutuhkannya, sangat membutuhkannya. Hiks..."
Yoonjin mengusap punggung Yoongi dengan lembut, ia hanya mendengarkan Yoongi sampai selesai.
"Saat itu juga. Aku sangat menyayangimu, tapi aku tak pernah mengatakannya. Aku hanya bersikap memonopolimu, menjadi posesif dan membiarkanmu berpikir bahwa kau mainanku. Tidak! Aku mencintaimu, aku membutuhkanmu. Tapi aku tak tahu cara mengungkapkannya, aku ingin mengatakan tetaplah disisiku. Im Yoonjin, aku menyayangimu. Tapi kau pergi. Kau pergi meninggalkan brengsek ini. Lalu sekarang Hoseok yang pergi. Cih!"
Yoonjin menangkup wajah Yoongi, ditatapnya kedua mata yang basah itu. Menatap tatapan sendu itu dengan dalam, mencoba menyalurkan kehangatan yang telah lama menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hormones [TAMAT]
FantasyJeon Jungkook, seorang pengangguran, bertemu dengan seekor kucing dengan luka di telinganya saat ia meniup lilin ulang tahunnya. "Apa kau malaikat?" "Dimana calico ku?" "Apa kau kehujanan?" "Jangan bicara dengan orang asing!" "Boleh aku memanggilmu...