#37. RUMAH POHON

196 15 2
                                    

Rumah pohon yang menjadi saksi biksu tentang persahabatan gue sama lo.
🦄

"Calon adek ipar lo!"

Meysa membeku, tapi, ia juga meleleh, layaknya ice cream yang tengah ia santap.

"Canda doang elah," lanjut Gafa sambil menampilkan wajah nakalnya.

"Ish... apaansih!" sunggut gadis itu kesal.

"Lia,"

"Apa?"

"Habis ini, gue sama lo ke rumah pohon ya?"

"Ah iya, gue juga mau. Bentar, gue habisin ini dulu,"

Meysa menghabiskan ice cream nya dengan lahap. Gafa hanya menatap Meysa dengan senyumannya, lagi dan lagi, senyuman yang sulit diartikan.

Kini, mereka berada di bawah rumah pohon itu. Rumah pohon yang sudah ia bangun beberapa bulan yang lalu.

"Lo naik duluan. Lo kan cowok," ujar Meysa.

"Iyaaa,"

Gafa kemudian naik dengan perlahan ke atas rumah pohon, diikuti oleh Meysa. Sesampainya di atas, mereka duduk di sana menghadap danau yang terbilang lumayan luas.

Gafa menghirup udara segar itu sambil menutup matanya, begitu pun dengan Meysa.

"Gafa." Gadis itu mulai bersuara.

"Hmmm." Gafa hanya menjawab dengan gumaman singkat.

Meysa membuka matanya, ia menoleh ke arah lelaki di sampingnya itu.

"Gue temenin ke rumah sakit ya," ucap Meysa yang membuat Gafa sedikit terperanjat.

Gafa membuka matanya, ia pun menoleh ke arah gadis di sampingnya itu.

"Ngapain?" tanya Gafa bingung.

"Nemenin lo chack up, gue takut lo kenapa-napa." Ada nada khawatir di sana.

Gafa tersenyum kecil, ia mengelus lembut puncak kepala Meysa.

"Gue nggak kenapa-napa," ucap Gafa mencoba meyakinkan Meysa.

"Tapi gue nggak yakin, lo pasti lagi sakit kan?"

Cairan bening mulai menumpuk di kedua bola mata gadis itu, ia mencoba untuk menahan, menahan air matanya agar tidak luruh begitu saja.

Gafa beralih ke wajah Meysa, ia menangkup wajah gadis itu dengan kedua tangannya.

"Gue beneran. Gue nggak kenapa-napa, buktinya, gue sehat-sehat aja kan sekarang," ucap Gafa, ia mencoba setenang mungkin.

Tanpa ragu, Meysa memeluk Gafa erat, ia menangis. Ia menangis di sana. Mungkin, sudah keberapa kalinya, gadis itu menangis di hadapan lelaki itu, bahkan di pelukan lelaki itu.

Gafa membalas pelukan Meysa, ia menutup matanya sejenak. Jujur, ia sangat tidak suka melihat gadis kesayangannya menangis.

"Husttt, jangan nangis. Gue nggak kenapa-napa." Lelaki itu berujar lirih.

FATUM [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang