4. "Si Tampanku?" 🍁

1.9K 255 35
                                    

4. "Si Tampanku?" 🍁

:::🍁:::

Pertemuan adalah takdir. Dan setiap pertemuan, selalu membawa kita ke takdir yang lain.

-New York, 13 Oktober
Masih dengan nenek yang minta dipanggil Jenny.

🍁🍁🍁

Tiba di kamar hotel yang ditempati Vira, nenek itu masuk dan langsung merebahkan diri di ranjang.

"Tidak terlalu buruk juga tempat tinggalmu. Tapi ini kecil sekali. Kamar mandiku bahkan lebih besar dari ini," komentar Jenny mengamati kamar Vira.

"Buat apa luas-luas. Toh, aku lebih sering keluar saat di sini."

"Oh ya? Lalu kenapa kita tidak keluar? Mengapa harus mendekam di penjara sesempit ini?"

"Tidak. Aku lelah. Aku ingin tidur," ujar Vira melepas ranselnya diatas meja.

"Hah, masih muda katanya. Baru begitu saja lelah. Memang kau habis melakukan apa? Tidak ada kan. Lihat aku! Masih segar. Tidak lelah sedikitpun."

"Kamu tidur selama di bus. Tentu saja tidak lelah," jawab Vira sembari naik ke ranjang dan menarik selimut. Ia memejamkan matanya, sehabis sholat magrib entah mengapa matanya terasa berat sekali. Vira dan Jenny sempat berjalan-jalan di Central Park hingga menjelang magrib. Lalu makan di rumah makan dekat hotel. Dan dengan keras kepalanya Jenny, ia tetap tidak memberi tahu dimana alamatnya. Membuat Vira mau tak mau membawa nenek itu ke hotel bersamanya.

"Heh, kau tidur?" Nenek itu melambaikan telapak tangan di depan wajah Vira yang memejamkan matanya.

"Hmm, apalagi?" tanya Vira sembari membuka mata.

Jenny diam sembari menyandarkan punggungnya di bantalan ranjang. Vira bangkit, duduk menyila menghadap Jenny.

"Kamu lelah? Apa ada yang sakit?" tanya Vira bersimpati.

"Kakiku rasanya sakit sekali. Seperti ada yang menusuk-nusuk dengan sengaja," keluh Jenny.

"Sini biar kupijat. Maaf, seharusnya kita naik taksi saja. Bukan angkutan umum. Aku akan mengantarmu besok. Kasihan kamu sakit begini, keluargamu pasti khawatir," ujar Vira sembari memijat pergelangan kaki Jenny lembut.

Jenny menatap Vira teduh. Ia bersikap menyebalkan, tapi gadis ini masih saja memperlakukannya dengan baik. Bahkan tidak berusaha mengambil keuntungan darinya. Hati Jenny menghangat. Merasakan ada ketulusan besar yang diberikan Vira untuknya.

Ia bukan siapa-siapanya, tapi Vira memperlakukannya dengan baik seperti keluarganya sendiri. Bahkan tanpa mereka saling mengenal.

Sangat berbeda dari orang-orang yang ditemui Jenny di sekitarnya. Gaya hidup hedonis, membuat mereka mengejar sesuatu berdasarkan prinsip ekonomi. Melakukan sesuatu karena keuntungan.

Banyak sekali orang berusaha bersikap dan berlaku baik di hadapannya. Mencoba menarik simpatinya untuk mendapatkan uang. Tapi alam berjalan adil. Yang tulus dengan yang modus tidak akan pernah terlihat sama. Mulut bisa membual, tapi tidak dengan mata yang menyiratkan hati pemiliknya.

Ya, mereka yang berlaku baik padanya karena uang akan selalu mundur karena sikap menyebalkan darinya yang kelewat batas. Dengan sumpah serapah di mulut mereka, menodongnya dengan mengungkit-ungkit perlakuan baik yang bahkan tidak pernah ia minta. Apalagi, jika bukan meminta imbalan akan kebaikan bermodus itu?

Tidak cukup dirinya. "Si Tampannya" pun juga menjadi target para perempuan berotak udang yang isi kepala mereka hanya uang dan uang.

Seribu cara, Jenny lakukan untuk melepaskan lintah darat yang menempel pada kehidupan "Si Tampannya". Para perempuan murahan bermodal paha dan dada yang mereka sodorkan demi gaya hidup mewah. Dengan bangganya mereka memamerkan senyuman palsu di depannya. Itu semua membuatnya jengah.

FEELING OF BEING AN ENEMY  [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang