38. Harga Sebuah Percaya 🍁

798 127 10
                                    

Kenapa manusia mudah sekali menentukan 'standar' pada segala sesuatunya, tanpa memikirkan perasaan orang lain?

Malang, 17 November

Standarku, aku yang menentukan. Bukan kamu, ataupun orang lain.

🍁🍁🍁

'Allahu akbar,, Allahu akbar'

Suara adzan subuh menggema di pagi buta. Vira terbangun sembari mengucek matanya. Ia mengamati sekitarnya, dan kaget saat sadar ia masih di balkon. Ia tertidur di lantai karena lelah menangis dini hari tadi. Ia mengusap sisa air mata yang telah mengering.

Tok tok

"Vira, Subuhan dulu yuk!" Ujar seseorang dibalik pintu. Vira bangkit setelah memastikan wajahnya cukup baik untuk menghadapi orang lain. Ia membuka pintu, seraya tersenyum tipis.

"Lho, belum siap-siap?" Tanya Ustadzah Dara heran.

"Saya nggak sholat, Ustadzah" Ujar Vira pelan dan sedikit lesu. Ustadzah Dara tersenyum, lalu mengangguk.

"Kalau sakit perut, di dapur ada teh camomile. Ada asam juga, kalau mau pakai aja. Anggap rumah sendiri ya" Vira mengangguk kikuk. Ustadzah Dara mengira ia sedang haid. Memang wajar jika haid datang kapan saja. Bahkan beberapa detik setelah shalat juga wajar. Tapi, Vira sedang tidak berhalangan. Ia hanya,,, bohong?

Ah, tidak bisa disalahkan. Sulit memang membedakan kebenaran dan kebohongan dalam hal seperti ini. Apalagi wajah Vira yang lesu membuatnya terlihat meyakinkan.

Vira menutup pintu kamar setelah Ustadzah Dara terlihat jauh. Dalam hari Vira menyesal telah berbohong. Ia hanya lelah. Rasanya terlalu sakit dan membuatnya kecewa terlalu dalam. Ia ingin jeda. Berhenti dari semua hal ini. Ingin pergi sejauh-jauhnya hingga masalah ini tak lagi terlihat. Ia tidak sanggup!

Vira naik ke ranjang, berusaha memejamkan matanya dan berusaha untuk tidak peduli pada suara iqomah yang berkumandang. Vira terduduk, lalu  menuju kamar mandi di dalam kamar. Ia mencuci wajahnya di wastafel, lalu menatap pantulan dirinya di cermin. Ada yang salah disini. Ia merasa ada yang kurang!

Tidak!
Vira menggelengkan kepalanya. Menepis perasaan bersalah itu jauh-jauh. Ia kembali ke ranjang lalu menarik selimut, berusaha tidur meski hatinya tidak tenang.

Berhasil! Beberapa menit berjuang dengan memaksa matanya terpejam, Vira benar-benar tertidur. Helaan napasnya teratur, terlihat damai. Tanpa orang lain tahu, jika kegundahan melingkupi diri gadis yang tengah tertidur itu.

🍁

15.42 WIB

Vira akhirnya mengalah dan keluar dari kamar setelah pura-pura tidak enak badan. Dan disinilah ia sekarang. Di lorong kelas anak-anak jilid 4-6.

Ia duduk di sebuah kursi keramik yang di sediakan di depan kelas. Kursi panjang yang bisa memuat empat atau lima orang dewasa. Ia duduk, mengawasi anak-anak usia kisaran tujuh tahun yang tengah bermain di tengah lapangan.

Suara langkah kaki seseorang mengusik telinga Vira. Membuat ia menoleh ke arah suara berasal. Vira tersenyum pada orang yang sekarang duduk di sebelahnya.

"Apa kabar, Fis?" tanya Vira pada orang disampingnya. Orang yang dipanggil 'Fis' itu tersenyum lembut sembari menautkan jari telunjuk dan jempolnya, 'Ok'. Vira tersenyum lalu mengangguk. Setelah itu hening diantara keduanya. Mereka menatap ke arah lapangan, namun tampak jelas jika pikiran mereka berkecamuk. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.

Vira merasa tangan kanannya digenggam seseorang. Vira menoleh dengan tatapan bertanya, 'ada apa?'. Gadis yang tadi dipanggil Fis itu menuliskan sesuatu di note yang ia keluarkan dari sakunya. Lalu menyerahkannya pada Vira untuk dibaca.

FEELING OF BEING AN ENEMY  [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang