44. Jadi...?🍁

707 110 9
                                    

Ketika aku sudah ikhlas menerima semua, kenapa Engkau malah mengambil semuanya dariku? Apa ini hukuman karena telah menyia-nyiakan semua yang sudah ada?

Surabaya, 04 Desember

Ampuni aku Allah, yang selalu mempertanyakan keadilanmu sedangkan diri ini tahu Engkau adalah yang Maha adil.

🍁🍁🍁

Vira meletakkan piring terakhir yang telah dicucinya di rak piring. Kemudian menyambar kain lap untuk mengeringkan tangannya. Vira mengikat rambutnya lebih rapi, lalu meraih hijab bergo yang menggantung di sisi pintu.

"Dek, ditunggu ayah di ruang keluarga" Reza menghampiri Vira, lalu menarik tangannya.

"Apasih, Kak. Vira bisa kali jalan sendiri. Nggak usah di pegangin kayak balita baru jalan" Vira mencubit lengan Reza.

"Aww, kalau galak gini sih bukan balita. Tapi nenek-nenek, nenek sihir." Reza sudah berlari duluan sebelum Vira sempat memukulnya.

"Abang durhaka!" pekik Vira kesal. Reza yang sudah hilang mengintip dari pintu dapur,

"Ada apa nek, perlu bantuan buat jalan kah? Biar gak patah punggungnya?" Reza menampilkan senyum jail dan mata berbinar. Dikiranya nenek reot apa! Vira meraih kemoceng yang menggantung di dinding, lalu melemparnya ke arah Reza.

Tap!

Kemoceng itu tergeletak di lantai, tak jauh dari tempat Reza berdiri. Meleset!

Reza menjulurkan lidahnya. Mengejek.

Lalu dengan tanpa dosa meraih kemoceng itu dan mengangkatnya setinggi dada. "Nek, tongkatnya datang duluan. Perlu dianterin kesana nggak, hahahaaa"

Suara tawa Reza masih terdengar, Vira mengejar, tapi gamisnya malah terinjak oleh kakinya sendiri. Membuatnya jatuh ke lantai, bahkan sikunya sempat terantuk ujung meja makan. Vira mengusap sikunya, membuka lengan gamisnya dan mendapati sikunya membiru.

"Dasar bocah! Jalan aja nggak becus, jatuh mulu. Lihat nih, biru begini. Pasti sakit! Lain kali hati-hati! Untung cuma memar dikit, kalau sampai patah tulang terus di operasi, mau?" Reza berceloteh panjang lebar. Vira mencebikkan bibirnya, dasar bawel! Tadi yang ngejekin siapa coba?

Vira menarik telinga kiri kakaknya hingga Reza mengaduh. Vira melepas tangannya seraya tersenyum puas setelah melihat telinga Reza memerah.

"Yes, satu sama" Vira menjulurkan lidahnya, membalas ejekan kakaknya tadi, lalu berlari ke ruang keluarga tanpa peduli pada Reza yang tengah mengomel padanya.

Vira masih tertawa saat tiba di ruang keluarga, namun tawa renyahnya langsung lenyap kala melihat seseorang tamu yang ikut duduk di sofa ruang keluarga. Vira menegakkan tubuhnya, segera melenyapkan raut kebingungan dari wajahnya dan m1enampilkan senyum sebagai sopan santun.

"Sini, dek" panggil Anita--mama Vira. Vira segera duduk di samping Anita, ia mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa kebas dan kaku.

"Ada yang ingin Nak Syafiq sampaikan. Kalian mungkin butuh waktu berdua" Ayah Vira sudah berdiri dari duduknya, lalu beranjak bersama Anita meninggalkan Vira dengan wajah pias di samping Syafiq yang terus menunduk.

"Assalamualaikum" Syafiq membuka suara dengan mengucap salam. Pandangan matanya masih tertuju pada lantai keramik yang dilapisi karpet tebal berbulu. Vira menoleh, mengintip Syafiq yang tetap menunduk lewat ekor matanya.

"Waalaikumussalam. Ada apa, kak?" Vira tak lagi ingin berbasa-basi, rasanya tangannya sudah ikut gemetar karena gugup. Ia tidak yakin akan kuat berlama-lama di situasi awkward seperti ini. Kecanggungan ini serasa menyekiknya. Dan Vira memang terlalu ramah dan humble untuk terjebak disuasana seperti ini.

FEELING OF BEING AN ENEMY  [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang