12. Marah? 🍁

1.2K 189 18
                                    

Katakan yang sejujurnya.
Jika penasaran, tanyakanlah. Jangan bersikap seolah memiliki perasaan. Lalu pergi tanpa alasan.

-New York, 19 Oktober
Di Bandara John F Kenedy. Membawa koper dan ransel, beserta seluruh kenangan dari sini.

🍁🍁🍁

"Anda bisa lebih cepat?" tanya Vira seraya mengecek jam di ponselnya.

"Tapi Nona, jalanan sedang ramai" jawab Sopir taksi yang ditumpangi Vira.

"Tapi saya buru-buru" tambah Vira.

"Kalau anda buru-buru kenapa tidak berangkat lebih pagi?" ujar sopir itu membuat Vira terdiam.

Ha! Knock out dudee!
'kenapa tidak berangkat lebih pagi?'

Ok. Kenapa Vira? Karena kau bangun kesiangan. Dan kenapa kau bangun kesiangan Vira?

Itu salahmu Vira!

Sudah tahu ikut penerbangan pertama malah kesiangan. Sama saja dengan gila.

Vira menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Ia berusaha untuk tenang. Walau sedari tadi jantungnya sudah deg-deg an. Kalau sampai ketinggalan pesawat, maka ia telah kehilangan uang jutaan secara percuma karena kecerobohan dan kebodohannya hari ini.

Selama di dalam taksi,  Vira terus mengecek jam tangan digitalnya. Ia bahkan meremas roknya karena saking tidak tenangnya.  Ia rasanya ingin mengambil alih kemudi stir,  lalu membanting setir ke kanan dan ke kiri,  melewati lampu merah,  menyalip setiap mobil di depan yang berjalan seperti siput,  lalu tancap gas menuju bandara dan ia tiba dengan tepat waktu.

Tapi sayang,  angan kan tetap menjadi angan.  Ia tak seberani dan segila itu.  Ia masih ingin hidup dengan dami,  sentosa,  tanpa terjerat kasus hukum. Terlebih lagi di negara orang.

Rasanya ia ingin memaki,  mengumpat dan uring-uringan terus.  Rasanya ia ingin membanting semua yang di depan matanya. Vira memeluk ranselnya erat,  menyurukkan wajahnya dan menenggelamkannya di ransel. Jika terus melihat jalan dan jam,  ia bisa sakit jantung lama-lama.

Vira mendapat sedikit ketenangan,  ia mulai ingat untuk berdzikir.

'hanya dengan mengingat Allah,  hati menjadi tenang'

Ia masih ingat dengan jelas. Maka dalam diamnya,  Vira mulai melafadzkan ta'awudz,

"Audzubillahiminassyaitannirrajim,  ya Allah jauhkanlah aku dari setan yang terkutuk"

Marah itu datangnya dari syaitan,  maka ta'awudz lah untuk menghindarkan dari petaka kemarahan yang terus berlanjut.

Ia mulai beristighfar,  menyesali dirinya yang tadi sudah mengumpat di dalam hati.  Tidak seharusnya Vira mengumpat,  sekalipun di dalam hati.  Itu hanya akan menambah kotor di hatinya yang semula sudah kotor.

"Astagfirullah hal adzim" Vira mengulang terus,  perlahan kepalanya mulai terangkat dari atas ransel.  Ia bisa melihat jalanan dengan lebih tenang.  Jantungnya berdegub kencang,  ia masih khawatir, namun kekhawatiran itu tak sampai membuatnya ingin melakukan hal-hal bodoh yang tadi terpikirkan olehnya.

🍁

Vira berjalan ke arah tempat duduk.

Ia menggeret koper dengan tangan gemetar.  Napasnya masih ngos-ngosan, ia memandangi kakinya yang masih memakai sandal kelinci. Itu adalah sandal tidur, dan tatapannya teralih pada pakaian yang dikenakannya. 

Hei!

Vira masih memakai baju tidur. Tapi Vira benar-benar tidak peduli. Bahkan ia hanya cuci muka saja saat bangun tidur. Ia jadi agak senewen jika sedang haid, mentang-mentang gak shalat shubuh jadi bangun siang.

FEELING OF BEING AN ENEMY  [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang