49. Biar Aku Mengejarmu 🍁

927 122 25
                                    

Ia datang lagi dan lagi.
Mengganggu hidupku.
Aku takut untuk melangkah, takut untuk kembali percaya.

Ia berkali-kali membuatku berharap, jatuh, lalu kecewa.
Aku tak mau mengulang siklus ini terus-menerus, aku harus menyelamatkan hatiku. Sebelum ia benar-benar mati.

-Surabaya, 05 Januari

🍁🍁🍁

Beberapa hari ini Alen terus-menerus mengunjungi rumah Vira, dan Vira tak pernah sekalipun mau menemui lelaki itu. Lelaki itu juga sering ke sekolah saat jam istirahat dan mengunjungi masjid yang sama dengan Vira. Tapi sama saja, Vira tak pernah mengacuhkannya. Tapi untuk kali ini Vira tak perlu repot-repot menghindari lelaki itu. Bule itu terlalu mencolok untuk tidak menarik perhatian. Tanpa perlu Vira menjauh, lelaki itutak bisa mendekatinya karena selalu dikerumuni banyak orang.

Vira bergegas membereskan perlengkapan shalatnya, ia harus cepat keluar sebelum lelaki itu mengganggunya lagi. Namun seorang ibu-ibu membuat Vira menghentikan langkahnya, "Eh Dek Vira, lama nggak lihat ke masjid."

"Oh, lagi halangan, Bu."  Vira tersenyum, ibu itu mengajak Vira duduk. Dengan berat hati Vira mengikutinya walau dalam hati merasa cemas.

Keduanya mengobrol kan banyak hal, ibu itu juga sesekali bertanya pada Vira. Vira yang memang suka mendengar orang bercerita pun mulai nyaman. Ibu ini menyenangkan, apalagi yang diobrolkan bukan gosip dan kehidupan orang lain.

"Maaf, Dek. Kalau boleh tahu, orang bule yang ke masjid itu beneran calon suaminya adik?" senyum Vira pudar, Vira memang orang yang humble. Tapi ia tidak pernah suka diusik tentang kehidupan pribadinya.

"Kata siapa?" tanya Vira penasaran.

"Rame banget dek yang ngomongin. Daripada saya dengar dari orang-orang, mending saya tabayyun sendiri ke orangnya," ujar ibu itu. Vira terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

"Seramai itu kah sampai yang tidak pernah gosip pun tahu?" batin Vira.

Ibu itu tiba-tiba pamit dengan alasan sudah ditunggu suami. Vira menggangguk. Setelah kepergian ibu itu, Vira memutuskan untuk pulang, pikirannya melayang. Vira mencari sandalnya, tapi tak melihatnya di tempat terakhir yang ia ingat.

"Masak sandal jepit buluk aja ada yang embat sih," gumam Vira kesal.

Sebuah sandal laki-laki berlogo centang tiba-tiba ada di depannya. Vira menoleh, Kenapa lelaki ini masih di sini!

"Pakai sandalku aja," ujar Alen. Vira tak mengacuhkannya, ia sudah berjalan tanpa alas kaki. Lelaki itu mengekor di belakangnya, ikut berjalan tanpa alas kaki.

"Nanti kaki kamu sakit, pakai sandalku ya?" Vira berhenti, menatap tajam lelaki itu.

"Gak usah sok peduli sama gue!" bentak Vira tanpa sadar. Orang-orang di sekitar sana menatap keduanya penasaran. Vira yang menyadari jika ini tempat umum segera bergegas pulang, tak lagi peduli jika lelaki itu terus mengikutinya.

Sesampainya di rumah, Vira segera menutup pintu. Tapi Alen menahan pintu itu dengan lengannya.

"Gue bilang pergi! Nggak usah ganggu gue lagi. Minggir!"

"Please, kasih aku waktu bicara," pinta Alen yang masih terus menahan pintu.

"Nggak perlu, kita udah selesai. Sekarang mending lu pulang ke negara lo!" Vira mendorong pintu, Alen menahannya lebih kuat.

"Kenapa kamu egois, enggak mau dengerin orang lain? Aku juga butuh penjelasan kenapa kamu nggak pernah balas email aku 2 tahun ini." Vira terdiam, lelaki ini sedang menghayal atau bagaimana?

Vira bahkan selalu menunggu kabar dari lelaki itu mulai dari Instagram, WhatsApp, telepon, email, dan semua media sosial tapi tak kunjung mendapatkannya. Vira mendorong pintu lebih kuat, tapi lelaki itu juga menahannya lebih kuat.

"Setiap hari aku kirimin kamu pesan lewat email, tapi nggak ada satupun yang kamu balas. Segitu marahnya kamu karena aku nggak bisa datang dua minggu seperti janjiku? Aku udah jelasin semuanya. Andai aku bisa, aku pasti ninggalin semuanya buat kamu, Vir. Please," suara lelaki itu terdengar putus asa.

Brakk...

Vira mengunci pintunya, ia tak peduli lagi dengan ucapan Alen di luar sana. Ia akan berusaha menutup telinganya, sudah cukup semuanya.

🍁

Esok harinya Vira kembali melakukan rutinitasnya. Mengajar hingga sore, mengoreksi naskah anak didiknya di komunitas, mengetik naskahnya sendiri, dan melakukan pekerjaan rumah yang lain. Ada perbedaan hari ini dengan hari-hari sebelumnya, lelaki itu tak lagi mengganggunya. Vira menghela napas, untuk apa juga ia memikirkannya. Itu bagus 'kan?

Vira keluar dari warung dengan membawa kantung kresek ukuran sedang, ini akan bertahan sampai beberapa minggu kedepan, karena Vira bukan orang yang doyan ngemil. Ia suka kuliner, tapi camilan tidak termasuk. Camilan baginya hanya sebatas pelengkap jika ia lembur, ia lebih mengutamakan makan daripada camilan. Karena sebanyak apapun ia makan camilan, itu tidak akan pernah mengenyangkan dan itu juga tidak sehat jika terus-terusan. Kecuali camilannya adalah buah, oatmeal, sayur, dan makanan sehat lainnya. Dan itu bukan temasuk camilan Vira.

Vira hampir saja menjerit ketika seseorang menarik ujung hijabnya dari belakang. Dasar kurang ajar! Vira melotot. Lelaki ini lagi!

Vira menarik ujung hijabnya yang tahan lelaki itu, tapi lelaki itu tetap tak mau melepasnya.

"Please, beri aku waktu." Vira tak menggubris ucapan lelaki itu.

"Setelah kamu biarin aku jelasin, aku janji nggak akan ganggu kamu lagi. Aku nggak akan maksa kamu lagi. Apapun keputusan kamu, aku menerimanya, tapi tolong beri aku waktu." Vira menghela napas, ia kemudian menunjuk sebuah kursi di bawah pohon beringin. Alen mengangguk,  keduanya berjalan kesana. Vira duduk tanpa menatap Alen.

"5 menit" ujar Vira tegas.

.

.

.

TBC❤


FEELING OF BEING AN ENEMY  [End]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang