Minggu ini merupakan minggu ujian kenaikan kelas. Gavin dengan otak pintarnya tidak begitu memusingkan hal itu. Justru Marsha, gadis mungil nan absurd itu sibuk minta ditemani belajar. Tidak seperti biasanya Marsha hanya akan diam saat ujian dan Gavin yang mengisi kertas ujiannya. Gadis itu bahkan tidak mau repot-repot untuk membuka buku jika ada ujian. Namun tidak seperti sekarang ini, Marsha bersikeras ingin belajar dan menjawab sendiri ujiannya nanti. Marsha harus tambah pintar, soalnya Gavin suka lihat Marsha jadi pintar. Begitu katanya. Gadis itu begitu antusias belajar karena melihat Gavin yang tersenyum sepanjang hari saat menemani Marsha belajar. Padahal gadis itu hanya membaca cerita pendek di buku paket bahasa Indonesia.
"Gavin, Marsha sudah selesai membaca ceritanya"
"Hm? Sudah?" tanya Gavin yang sedari tadi sibuk menikmati wajah polos dengan mulut komat-kamit Marsha saat membaca. Bertambah lagi kesukaan Gavin.
"sudah. Terus Marsha harus bagaimana lagi?"
"Hemm, setelah membaca ceritanya apa yang Marsha bisa ambil?"
"Ambil? Apanya yang diambil Gavin?"
"Maksud Gavin, kesimpulan dari cerita yang Marsha baca tadi atau pelajaran yang kamu bisa ambil dari cerita itu"
"Huh? Ini kan cerita Gavin, tidak ada pelajarannya.."
"Maksud Gavin, apa yang Marsha tau setelah membaca ceritanya?"
"Marsha jadi tau ceritanya lah Gaviinn..."
"Coba certain sama Gavin.."
"Gavin baca saja sendiri, Marsha malas certain ulang. Ceritanya tidak seru..." Marsha mencebik bibirnya sambil menggeser buku didepannya ke Gavin. Gavin hanya bisa tersenyum maklum dengan gadis kesayangannya itu.
"Loh, gimana sih? Katanya tadi mau belajar? Hem?"
"Iya, Marsha memang mau belajar Gavin. Tapi Gavin malah nyuruh Marsha baca cerita, Marsha kan sudah sering baca cerita di novel.. ceritanya lebih seru lagi daripada yang dibuku Gavin. Marsha mau belajar pelajaran pak Derry saja Gavin.."
"Mau belajar hitung-hitungan?" tanya Gavin tak yakin dengan permintaan Marsha.
Marsha paling lemah dipelajaran menghitung berbeda jika di pelajaran yang hapalan. Meski otak Marsha miring begitu, tapi gadis itu bisa cepat menghapal sesuatu yang dia baca. Bisa saja dengan sekali atau dua kali baca, dia sudah menghapal bacaannya. Oleh karena itu Gavin mengajari Marsha bahasa Indonesia terlebih dahulu tadi.
"Iya Gavin, biar nanti pak Derry tidak melotot terus ke Marsha pas belajar dikelas,hehe.."
"Ya udah, kita belajar dari persamaan kuadrat saja yaa?"
"Huh? Persamaan kuadrat itu apa Gavin? Siapa yang menciptakan? Rumusnya banyak tidak? Apa susah mengerjakan soalnya?"
"Pelan-pelan sayang. Bertanyanya satu-satu, tunggu Gavin jelasin dulu baru Marsha bertanya. Oke?"
Marsha mengangguk tanda mengerti, lalu memfokuskan memperhatikan Gavin yang menjelaskan materi. Gavin menjelaskan dengan perhalan agar Marsha bisa menangkapnya. Namun hingga menit kelima belas, Gavin mulai kewalahan. Marsha terlalu aktif. Gadis itu akan bertanya apa saja yang tersangkut dikepalanya, termasuk hal-hal yang tidak penting dan tidak bersangkutan dengan pelajaran. Seperti bertanya mengapa perut pak Derry, guru matematika mereka itu buncit? Apa rumus yang pak Derry ajarkan itu tersimpan disana? atau bertanya kenapa tulisan di pelajaran matematika lebih banyak angka, kenapa tidak ditulis dalam bentuk huruf saja semuanya. Angka-angka itu membuat kepala Marsha berputar. No sense, like Marsha as always.
Dan Gavin dengan sabar menjelaskan dan menjawab semua pertanyaan Marsha, seabsurd apa pun itu. Karena jika tidak dijawab, gadis itu akan terus menanyakan sampai ia merasa puas. Dan Gavin menjelaskan dengan menggunakan kalimat yang bisa cepat dimengerti oleh manusia sejenis Marsha. Bahkan ia merasa lebih hebat dari guru-guru disekolah karena bisa membuat si murid dengan otak miring itu mengangguk-angguk mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, nona absurd!
Teen Fictionini hanya cerita tentang Marsha, si gadis mungil dengan 'bapak' posesifnya. Marsha tidak peduli apapun asal Gavin ada bersamanya. Marsha tidak peduli diejek manja, gadis aneh atau apapun itu asal Gavin tetap disampingnya. Dan Gavin, si 'bapak' pos...