"Bunda, Ayah Marsha cantik dan imut ini berangkat sekolah dulu yaa. Jangan kangen Marsha loh, Marsha harus belajar di sekolah jadi gak bisa ketemu Ayah Bunda kalau tiba-tiba kangen nanti. Kecualii... Pak kepala sekolah bolehin Marsha bolos, hehe.."
"Ya sudah, jalan sana. Gavin pasti udah bosan nungguin kamu di depan.."
"Oke bunda. Dadah bunda, dadah ayah.." Marsha menarik satu persatu tangan kedua orangtua itu untuk ia cium.
"Dadah abang Nathan.." lalu melambaikan tangannya ke arah foto Nathan yang tertempel di dinding.
Berlari ke luar rumah, menyusul Gavin yang sudah bosan menunggu.
"Sudah, ayo berangkat Gavin. Jangan lama-lama, nanti kita terlambat lagi. Marsha lagi gak suka lihat pak Heri!" seru Marsha membuat Gavin hanya bisa tersenyum tipis. Pak Heri itu guru BK mereka ngomong-ngomong.Gavin dan Marsha tiba di sekolah pas bel masuk berbunyi. Jadi Marsha dengan cepat turun dari mobil Gavin dan berlari ke kelas. Entah apa yang membuat gadis itu terburu-buru. Padahal mereka juga biasanya terlambat.
Gavin menyusul Marsha, berjalan sendiri di koridor sambil mengamati Marsha yang berlari kencang di koridor.
"Danny..! Marsha kangen tauuu.." teriak Marsha begitu masuk ke kelas. Menerobos kerubungan teman sekelasnya yang berebut tugas Rangga untuk dicontek.
Marsha dengan cepat mendudukan tubuhnya di paha Daniel yang tadi nya sedang menulis tugas Gabriel.
Daniel yang menerima serangan dadakan si mungil terkejut dan reflek kedua tangan memeluk pinggang Marsha. Takut si mungil jatuh.
Tapi berbeda di pengamatan si bapak posesif. Gavin mendengus kesal, kesempatan pikirnya.
"Sha, berdiri sayang. Duduk sama Gavin aja.." protes Gavin rela lama-lama melihat kesayangan di pangkuan sahabatnya.
"Sebentar Gavin, Marsha rindu Danny tauu.." jawab Marsha sambil memeluk leher Daniel. Meletakkan kepalanya di bahu Daniel membelakangi Gavin. Si bapak posesif itu makin panas melihatnya.
"Woaah, Marsha lagi di pangku adek Danny. Sama abang aja sini cantik.."
Gabriel datang dan duduk di samping Gavin yang sedang memanas. Mencolek lengan pria itu sebentar yang kemudian cepat di tepiskan.
"Bapak kamu marah ini loh, nanti gak di kasih jajan loh.." saut Rangga ikut menggoda Gavin yang makin memanas.
"Tapi Marsha masih kangen Danny. Kangen wangi rambut Danny sama hitam-hitamnya Danny.."
"Hitam-hitam?" tanya Rangga bingung. Gavin juga bingung sebenarnya tapi malas bertanya. Kan masih dibakar api cemburu.
"Tahi lalat.." jawab Gabriel membantu. Rangga mengangguk mengerti.
"Marshaa, ge..geli loohh.."
Suara terbata Daniel menyadarkan Gavin dari lamunan. Dengan cepat mengalihkan matanya ke arah Marsha yang masih berada di pangkuan sahabatnya dan kini malah terlihat seperti menggigit leher Daniel.
"Sudah sayang, kamu udah kelewatan" Gavin mengangkat paksa tubuh mungil Marsha dari pangkuan Daniel dan membawanya keluar kelas.Gavin menurunkan Marsha di kursi perpustakaan. Menyuruh gadis itu untuk duduk dan diam disana.
Setelah memastikan Marsha duduk dengan nyaman, Gavin keluar meninggalkan Marsha begitu saja. Membuat gadis itu meneteskan air mata ketakutan.
Ia sudah takut sejak suara berat Gavin yang menahan marah saat mengangkatnya tadi dan sekarang ia di tinggalkan sendiri di perpustakaan yang sepi. Apa Marsha dibuang?
"Marsha? Kok nangis?"
Marsha segera mengangkat kepalanya melihat siapa yang datang. Itu bukan Gavin, tapi si buluk Gabriel.
"Gaby kenapa disini? Hiks, Marsha jadi tambah sedih liat wajah jelek Gaby, hueee.."
Si buluk Gaby itu hanya bisa meringis sambil meraba wajahnya.
"Gaby malas di kelas, kesini niatnya mau tidur. Tapi lihat kamu sendiri disini kan, Gaby mana bisa biarin aja.."
"Biarin aja.. Marsha lebih suka sendiri dari pada di temani sama Gaby, si buluk dari goa hantu.."
"Ya Tuhan, jahatnya. Sabarkan hamba Ya Alloh.."
Bukan hanyaa Gavin yang butuh kesabaran menghadapi tingkah absurd Marsha. Tapi Gabriel juga sangat butuh. Butuh sabar untuk dibully Marsha tiap hari.
"Kamu ngapain disini?"
Nah, itu baru Gavin. Muncul tiba-tiba di samping Marsha, entah kapan datangnya.
Menatap curiga Gabriel sambil meletakkan sekantong camilan di depan Marsha.
"Gavin? Hiks, Gavin kembali. Marsha pikir Gavin pergi jauh tinggalin Marsha. Buang Marsha diperpustakaan biar dimakan sama tikus-tikus, hiks.. Marsha takut Gavin buang Marsha terus nanti di pungut sama si buluk Gaby. Kan seraamm, Marsha gak suka lihat si buluk Gaby pokoknya, hueeeee....."
Marsha malah menjadi, menangis meraung-raung sambil tangannya yang sibuk mengacak isi kantong plastik yang Gavin bawa.
"Gavin bukain, hiks.."
Marsha juga lapar teman-teman dan menangis sambil membully Gaby itu butuh tenaga.
Gabriel menyibir Marsha dalam diam. Hanya menggerakkan bibitnya mendumel tanpa suara.
"Ekhemm.."
"Hehe, tadinya aku mau numpang tidur tapi lihat Marsha sendiri dan lagi nangis kan aku panik? Jadi aku dekatin aja.."
"Oh, sana ke UKS. Aku ada urusan sama bocah bandel ini.."
"Aku mau tidur Gavin, dan gak bisa tidur di UKS. Takut terlalu nyaman, nanti aku gak bangun-bangun.."
"Gak ngurus, sana sana.."
"Aku tidur di sudut sana aja yaa, janji gak ganggu, gak nguping. Aku juga gak bakal videoin terus nanti kasih ke anak mading biar mereka ada bahan atau kasih video menggemaskan Marsha yang lagi nangis gini ke fansnya dia. Gak bakal kok, tenang aja. Aku cuma butuh tidur, tapi yaa maaf kalau nanti jiwa kepo ku meronta dan tak bisa terkendali.."
Tolong di maafkan dan di maklumi saja mulut bocornya Gabriel. Ia hanya tak sengaja membocorkan rencananya kok.
Gavin pun dengan cepat menarik kerah Gabriel dan menyeretnya keluar perpustakaan. Sadis. Sementara Marsha hanya mengedipkan matanya bingung.Gavin kembali masuk ke dalam perpustakaan setelah mengusir setan pengganggu itu. Duduk di depan Marsha yang masih sibuk mengunyah. Sementara plastik hitam berisi camilan tadi sudah tampak kosong. Ludes semua camilan itu.
"Enak?" tanya Gavin sambil mengusap bekas airmata Marsha.
"Gak terlalu enak siihh, tapi Marsha suka bungkusnya ada gambar stroberrinya. Terus ini rasa vanila, gak enak. Tapi cacing Marsha katanya suka, jadi terpaksa Marsha makan. Ini juga, kenapa biskuitnya rasa red velvet? Red velvetnya gak nyanyi lagi ya? Jualan biskuit gitu? Atau jangan-jangan red velvetnya bangkrut kayak Leo juga? Iya Gavin?"
Gavin hanya mengangkat bahunya, tidak tau mau menjawab apa. Ia lagi sibuk mengurusi sampah bekas si gadis cerewet itu.
"Gavin? Kenapa beli susunya satu aja? Pelit!!"
"Enak makannya ya? Sampai lupa apa salahnya tadi? Hm?"
"Gak lupa, maaf Gavin"
Marsha menunduk kembali, meskipun sebenarnya ia tak tau apa salahnya. Tapi minta maaf saja lah, dari pada Gavin nanti marah.
"Itu hukuman buat kamu. Sampai malam nanti gak ada susu dan es krim. Oke?"
"Gak oke Gavin.. Marsha gak bisa hidup tanpa susu dan es krim. Nanti kalau sampai Marsha sekarat gimana? Kalau susu sama es krimnya kangen sama Marsha gimana? Nanti kalau pasukan cacing Marsha demo minta susu gimana? Pasukan cacing Marsha kan butuh susu biar tulang mereka kuat loh Gavin.. Atau..."
"Ssstt, gak terima protes. Sampe jam 8, oke?"
"Gavin jahat! Huaaaa, GABYYY...."
Marsha berlari begitu saja meninggalkan Gavin yang terkekeh bersama penghuni perpustakaan yang terpana mendengar kekehan si tampan itu.
Setelah mengurus sampah bekas Marsha hingga bersih, Gavin keluar perpustakaan menyusul Marsha.
Gavin berjalan sendiri di koridor yang sepi karena memang masih jam pelajaran. Kelas mereka saja yang kosong karena guru berhalangan hadir dan hanya dititip tugas. Kedua mata tajam Gavin yang tadinya hanya menatap ke depan teralihkan dengan pemandangan lucu di depannya.
Disana, di taman belakang kelas mereka ada Marsha dan juga Gabriel. Terlibat obrolan lucu, saling teriak, memukul, menjambak, atau lempar sepatu. Dan itu lucu di mata Gavin.
Gabriel sedang disiksa Marsha yang memang butuh pelampiasan. Malangnya nasib Gabriel yang menjadi korbannya. Ia sudah diteriaki, di jambak, ditarik hidung dan telinganya. Belum lagi bulu kakinya yang habis di cabuti dan sepatu yang sudah berenang bebas di parit sana. Marsha itu memang gadis tersadis yang pernah ada.
"Marshaa, udah dong. Sakit inii..." protes Gabriel berusaha melepaskan jambakan tangan Marsha di kepalanya. Gabriel sudah pusing omong-omong. Ia hanya pasrah saja sedari tadi, tak mau menolak atau membalas siksaan Marsha. Bukan takut dengan Gavin, tapi ia tak mampu menolak gadis itu. Gabriel tak pernah sanggup melakukan itu.
"Maaf Gaby, Marsha kuat sekali yaa tarik rambut Gaby? Maaf tapi Marsha lagi kesal sama Gavin. Marsha mau jambak Gavin, tapi Gavin tampan. Marsha gak tegaa.."
"Jadi aku gak tampan dan bebas kamu siksa gitu?"
"Iyaa. Maaf Gaby kalau Marsha kuat sekali, sakit yaa? Sini Marsha peluk biar sakitnya hilang.."
Gabriel dengan cepat menerima uluran tangan Marsha yang minta di peluk itu. Kesempatan tak boleh disia-siakan.
"Sakitnya Gaby pergi jauh-jauh, nanti Gaby makin jelek kalau sakitnya ada terus. Huuss huss sanaahh.."
Gabriel tak apa di katain jelek lagi, yang penting dapat pelukan dari Marsha.
"Apa perlu di cium juga yaa?"
Aduhh, Gabriel jadi degdegan kan jadinya.
"Marsha cium aja lah, manatau Gaby jadi kurang jeleknya. Muah muah muah.. Jeleknya Gaby, jauh juga sanah.."
Gabriel hampir saja khilaf menyosor balik Marsha yang memberinya ciuman di kening dan di kepalanya. Untung ia masih bisa menahan diri.
"Marsha sayang Gaby. Gaby jangan marah yaa kalau Marsha jelek-jelekin Gaby terus. Itu karena Gaby memang jelek. Hehe, gak gak. Itu karena Marsha sayang Gaby, hihi..."
Cupp
"GABRIEL!! KAMU MAU MATI!!"
Maafkan Gabriel yang kelepasan temana-teman.
Dan mari doakan keselamatan untuk Gabriel. Rest in peace Gaby.Selamat malam kaliaannn...
Selamat menikmati sajian penutup malam ini...
Terimakasih untuk vote dan komennya..
Masih di tunggu juga loh untuk bab ini yaa..
Thankyuu thankyuuu ^•^
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, nona absurd!
Jugendliteraturini hanya cerita tentang Marsha, si gadis mungil dengan 'bapak' posesifnya. Marsha tidak peduli apapun asal Gavin ada bersamanya. Marsha tidak peduli diejek manja, gadis aneh atau apapun itu asal Gavin tetap disampingnya. Dan Gavin, si 'bapak' pos...