"Gavin, Marsha mau di bawa kemana?"
Tanya Marsha cemas melihat jalanan yang mereka lewati bukan jalan ke rumah ataupun ke kantor Gavin. Marsha merasa was-was apalagi melihat wajah Gavin yang selalu datar itu. Marsha kan takut, jika Gavin tiba-tiba berubah jadi psiko dan berencana membuangnya.
"Ke tempat temannya bunda"
"Ouuuhh, Bunda punya teman Gavin?"
"Ya punya dong"
"Kok Marsha gak tau kalau bunda punya teman? Teman bunda laki-laki apa perempuan? Udah Bapak-bapak apa masih muda? Punya restoran kayak bunda juga? Hemm, Marsha harus coba makanannya nanti. Ahh, apa Marsha kerja jadi tester makanan aja apa yaa? Jadi bisa makan gratis banyak-banyak, hihi.."
"Oke. Sudah ditentukan. Gavin, sekarang cita-cita Marsha jadi tester makanan. Setuju?"
"Terserah kamu aja. Tapi kita bukan mau ke restoran. Kita ke butik teman bunda"
"Bukit?"
"Butik sayang. Tempat jual baju?"
"Ouhh. Jadi apa Marsha harus jadi tester baju juga Gavin?"
"Boleh. Tapi bajunya bukan di makan ya, dipake. Oke?"
"Eung"
Gavin tersenyum tipis sambil mengelus kepala Marsha yang masih mengangguk itu.
Pagi tadi Serena menyuruh Gavin untuk mengambil baju pesanannya di butik langganannya. Butik milik teman searisan si bunda."Silahkan masuk, ada yang bisa di bantu mas?" sapa seorang karyawan menghampiri Gavin dan Marsha yang baru masuk butik.
"Tante Ami nya ada? Saya mau bertemu"
"Dengan mas Gavin ya? Langsung ke ruangan ibu saja mas. Lewat tangga, ruangan sebelah kiri"
"Terimakasih"
Gavin menarik lembut tangan Marsha yang sibuk menjelajahi pajangan baju-baju disana dengan mata bulatnya.
"Gavin, apa Marsha boleh mencoba semua baju-bajunya?"
"Hem? Kamu mau cobain semua? Yakin?"
"Iya Gavin, bajunya cantik-cantik. Hehe.."
"Oke, kita bilang sama tante Aminya dulu ya"
Marsha mengangguk lalu menaiki tangga dengan langkah cerianya dan melompati anak tangga sambil menghitungnya.
Gavin dengan sabar memegangi tangan gadis itu agar tidak terjatuh dan sesekali terkekeh.
"Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh ti..."
"Jumlah tangganya 30 cantik"
Marsha dan Gavin kompak mengalihkan pandangan mereka ke ujung tangga. Disana seorang wanita seusia bundanya bersender cantik di pagar tangga.
"Gavin, siapa? Kok cantik?"
Tanya Marsha berbisik sembari menyembunyikan badannya di belakang Gavin.
"Itu tante Ami, yang punya butik ini sayang"
"Bukit?"
"Butik cantik. Ayo sini sama tante, tante punya banyak baju bagus buat kamu. Mau?"
Tante Ami menyela sambil tersenyum menyuruh Marsha mendekat. Sementara gadis itu malah menatap Gavin.
"Boleh sayang, ayo"
Ajak Gavin lalu menarik Marsha mendekati tante Ami dan masuk ke ruangan tante cantik itu.
Marsha menatap kagum ruangan yang didominasi warna coklat lembut itu. Ada beberapa patung manekin yang dipakaikan dress cantik dan tampak mewah. Di dingding tampak bingkai-bingkai sketsa gaun yang mengagumkan.
Ami mempersilahkan Gavin dan Marsha untuk duduk dan menikmati teh yang disuguhkan.
Sementara Marsha sibuk menjelajahi isi ruangan itu, Gavin dan tante Ami tampak mengobrol santai.
"Marsha mau coba baju yang tante buat gak?"
"Memangnya boleh tante?" tanya Marsha lirih. Entah mengapa gadis itu tidak sebar-bar biasanya.
"Boleh dong, kan tante buatnya khusus untuk Marsha"
"Khusus untuk Marsha?"
Tante Ami mengangguk sambil tertarik meyakinkan.
"Khusus untuk Marsha, berarti Marsha spesial, hihii..." bisik Marsha ke telinga Gavin. Tante Ami kini terkekeh menyaksikan tingkah malu-malu Marsha yng menggemaskan itu.
"Makanya kamu coba sana"
"Oke Gavin"
Dan mereka masih berbisik-bisik meski tante Ami juga masih bisa mendengarnya.
Marsha memberikan kecupan di pipi kiri Gavin sebelum mengikuti tante Ami memasuki ruang ganti.
"Gavin, Marsha cantik tidak?"
Marsha keluar dengan gaun merah muda setinggi lututnya. Dengan lengan selebar dua jari memperlihatkan lengan putih Marsha. Dan ketika gadis itu berputar, Gavin yang tadinya terpesona langsung menggeleng tak setuju. Punggung Marsha terlalu terbuka.
"Bagaimana Gavin?"
"Cantik tante, tapi tidak untuk Marsha. Punggung dan lengannya terlalu terbuka"
Tante Ami menatap bingung dan heran Gavin dan gaun di badan Marsha. Menatap berulang kali hingga kembali mengajak Marsha masuk ke ruang ganti.
Beberapa menit kemudian, Marsha keluar dengan gaun biru tua panjang dan lengannya juga panjang, serba tertutup.
"Marsha ku yang paling cantik. Tapi baju itu gak cocok tante, dia malah mirip tante nanti. Jangan hilangkan keimutan Marsha"
"Hah"
Menghela nafas lalu kembali membawa Marsha masuk ke ruang ganti.
Hingga Marsha sudah berganti baju yang ke delapan, dan Gavin masih saja tidak setuju. Ada saja alasannya membuat Marsha kesal.
"iihh, Marsha gak mau ganti lagi. Marsha capek. Biarin aja Marsha pake jeans sama kaos Gavin terus, gak usah beli baju. Keseelll!"
"Nah, itu lebih bagus sayang"
"Gavin menyebalkan, dasar beruang jelek, tidak laku, bujang lapuk, kakek-kakek bau tanah, Gavin jelek pokoknya. Marsha kesel sama Gavin, bodo!!!"
Pekikkan kesal Marsha sambil menatap kesal Gavin.
"Iya iyaa, Gavin tau kalau Gavin jelek. Tarik nafas pelan sayang, nanti Marsha capek nafas kencang-kencang begitu"
"Gak usah sok peduli sama Marsha kakek buluk, Marsha lagi marah. Nafasny harus kencang biar seram!"
Tante Ami menatap bingung kedua remaja yang sedang beradu itu. Ingin merelai, tapi masih ingin menikmati kegemasan pasangan itu seperti cerita sahabatnya, Serena.
"Pokoknya kalau Gavin mau Marsha gak marah lagi. Biarin Marsha pilih bajunya sendiri. Gavin tidak boleh protes, apalagi melarang. Kalau Gavin protes nanti Marsha tendang dari rumah ayah. Pokoknya Marsha mau baju baru, harus cantik kayak Marsha!"
"Ya udah iyaa, pilih sana. Nafasnya pelan sayang, ini tangan nya gak usah dikepal juga. Jadi merah kan"
"Marsha boleh pilih sendiri ya? Marsha gak bakal pilih yang aneh-aneh kok.."
Ujar Marsha kini sudah dengan suara pelannya. Bahkan kini sudah bergelayut di lengan Gavin, merengek.
"Boleh sayang. Sana pilihnya sama tante Ami. Gavin mau ke seberang bentar yaa?"
"Gavin tinggalin Marsha?"
"Gak loh. Gavin mau beli camilan buat kamu. Perut nakal ini pasti udah kelaparan kan?"
"Hehe, terimakasih papa bear"
"Hem, sebentar ya cantik"
Gavin memberikan kecupan di kening Marsha lalu keluar daru ruangan tante Ami.
Wanita paruh baya itu benar-benar tak tau harus berekspresi bagaimana. Kedua remaja itu terlalu labil menurutnya. Sebentar berdebat lalu sebentar kemudian sudah berbaikan bahkan sambil berbagi kecupan pula. Ahh, biarkan saja lah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, nona absurd!
Teen Fictionini hanya cerita tentang Marsha, si gadis mungil dengan 'bapak' posesifnya. Marsha tidak peduli apapun asal Gavin ada bersamanya. Marsha tidak peduli diejek manja, gadis aneh atau apapun itu asal Gavin tetap disampingnya. Dan Gavin, si 'bapak' pos...