"Huaaahh, akhirnya selesai juga ujiannya. Otak tampan Gabriel jadi kusut hanya memikirkan soal ujian saja satu minggu ini.." keluh Gabriel sambil menjatuhkan kepalanya di meja kantin yang mereka tempati.
"Gak usah lebay. Jawab soal ujian aja kamu pakai otak orang lain.."
Namun bukan rasa kasihan atau kalimat semangat yang didapatkan, Gabriel malah mendapatkan sebuah pukulan dikepalanya. Dan pelakunya ada Rangga, si korban contekan Gabriel untuk ujian kali ini.
"Nyesal aku tuh pilih tempat duduk di samping kalian berdua. Yang satu gak bisa diam, yang satunya diam aja tapi tangannya yang gak bisa diam. Aarrghh.. aku gak mau lagi duduk didekat kalian berdua kalau lagi ujian.." desis Rangga kesal menunjuk si kembar didepannya.
Sementara yang ditunjuk hanya menatapnya polos tak merasa bersalah. Baru kali ini Rangga duduk diantara si kembar tengil itu. Biasanya ia duduk di antara Shinta dan Gavin, jadi selalu aman terkendali.
"Aku kan tadi cuma bertanya dan bantu ngerjain soal ujiannya Rangga. Lagian bantu teman susah itu nanti makin di sayang Shinta loh, iya kan Shin?" Elak Gabriel sambil membawa nama sang kekasih membuat Rangga mengurung niatnya memukul kepala Gabriel.
"Apa??" tanya Daniel begitu Rangga memandangnya tajam.
"Bisa kasih alasan kenapa kamu lempar penaku ke luar jendela tadi?"
"Pena kamu kan ada dua, mubazir.."
"Tapi kan.."
"Tadi tukang kebun gak bawa pena ke sekolah, makanya aku kasih.."
"Tukang kebun memang gak perlu pena Nieeelll, aaargghh.."
Rangga frustasi. Ia tak habis pikir kenapa si kembar itu harus berada disampingnya saat ujian. Salahkan mengapa wali kelas mereka harus mengatur tempat duduk saat ujian untuk semester ini, tidak seperti yang sebelumnya.
"Marsha lapar?" suara Gavin terdengar mengusik Marsha yang sedang bersandar dipunggungnya.
Gadis itu sepertinya sangat kelelahan, ia bahkan tak berbicara banyak selama seminggu ini. Marsha benar-benar menjawab soal-soal ujian sendiri tanpa meminta bantuan siapa pun. Ia benar-benar menggunakan otak untuk belajar dan hal ini membuat Gavin dan keluarganya khawatir. Mereka belum terbiasa dengan Marsha yang selalu belajar sepulang sekolah hingga malam. Bahkan menolak ikut Gavin ke kantor. Jadilah Serena mengabaikan kafe dan restorannya hanya untuk menemani Marsha di rumah.
"Marsha capek Gavin, pusing.." jawab Marsha lirih hingga membuat Gavin tersentak panik.
"Ya Tuhan, sayang? Kamu sakit? mau ke dokter?" tanya Gavin panic membuat Rangga menghentikan omelannya dan si kembar yang sedari tadi menertawakan Rangga segera menghampiri Marsha. Shinta yang sibuk mengelus pundak Rangga pun segera menatap Marsha khawatir.
"Marsha sakit? Gavin ayo bawa Marsha ke rumah sakit, cepat.." teriak Shinta ikut panic melihat wajah pucat dan lelah Marsha.
"Marsha gak mau ke rumah sakit, Marsha mau tidur sama Ayah.."
"Ya sudah, kita pulang. Tapi Marsha tidur sama Gavin saja yaa.."
"Tidak mau. Mau sama Ayah.." Marsha mulai merengek.
"Ya sudah, iya iyaa. Nanti kita telpon ayah.." Jawab Gavin tak ikhlas.
Segera Gavin membawa Marsha ke dalam gendongannya dan berjalan menuju parkiran mobilnya. Teman-temannya mengikut dari belakang dan masih dengan rasa khawatir mereka.
"Apa tidak sebaiknya di bawa ke rumah sakit Gavin? takut Marsha kenapa-kenapa.." sela Rangga saat Gavin mendudukkan Marsha di kursi penumpang mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hei, nona absurd!
Ficção Adolescenteini hanya cerita tentang Marsha, si gadis mungil dengan 'bapak' posesifnya. Marsha tidak peduli apapun asal Gavin ada bersamanya. Marsha tidak peduli diejek manja, gadis aneh atau apapun itu asal Gavin tetap disampingnya. Dan Gavin, si 'bapak' pos...