Part 33 - Ke-barbar-an Alana

538 50 0
                                    

Tekan bintang ⭐sebelum membaca

Happy reading


Alana tidak terlalu fokus mendengarkan guru yang sedang menerangkan pelajaran di depan. Sesekali wajahnya terasa panas saat tidak sengaja menoleh ke samping, ke arah Dariel. Pria itu tetap fokus, tidak terlalu peduli dengan Alana yang grusak-grusuk disampingnya. Rahang tegas, alis tebal, bulu mata agak lentik, semuanya membuat jantung Alana tidak karuan.

Sesekali Alana menggeleng kecil, menghilangkan pikirannya tentang Dariel. Tetapi tidak akan hilang dari matanya, tentu saja itu. Apalagi Dariel bersebelahan dengannya.

Bu Asri akhirnya keluar dari kelas, setelah menerima telepon. Meninggalkan tugas tentang materi yang baru saja diajarkan, dan harus dikumpulkan di mejanya saat istirahat.

Ini adalah ujian untuk Alana. Yang benar saja, sepanjang pelajaran tidak ada satu pun yang nyangkut di otak Alana. Mungkin ia terlalu fokus dengan paras tampan Dariel di sampingnya.

"Kenapa bengong? Cepet kerjain, nanti kan dikumpulkan," tegur Dariel.

Alana merespons dengan cengiran khasnya. Dariel mengerti itu.

"Yaudah, kerjain sebisa lo dulu. Nanti kalau kerjaan gue udah selesai gue bantu," ujar Dariel.

Tangan Alana membuka buku tulisnya, mulai menulis soal yang tertera di buku paket. Sesekali Alana membolak-balik buku paket itu, tidak-tidak tujuannya tidak mencari materi dari soal, tapi ia berharap menemukan kunci jawaban yang terselip. Aneh memang.

Kepala Alana rasanya berputar saat melihat angka-angka dan huruf di buku paketnya. Diterangkan saja materinya belum tentu masuk ke otak, apalagi belajar sendiri.

Dariel menghela napas lega, akhirnya ia berhasil mengerjakan semua soalnya. Kini tinggal satu tugasnya, mengajari Alana.

"Gimana? Udah selesai?" tanya Dariel. Matanya melirik buku Alana diatas meja, kali ini jawaban apa yang akan diucapkan gadis itu.

"Udah dong," jawab Alana. Sebelah alis Dariel terangkat, ia menebak kalimat Alana belum selesai.

"Soalnya," sambung Alana. Dariel terkekeh kecil mendengarnya, mungkin orang lain akan kesal bahkan marah dengan reaksi santai Alana. Tapi ini Dariel, bagaimana ia bisa memarahi gadis aneh sekaligus lucu yang memenuhi pikirannya belakangan ini?

"Gue ajarin, tapi serius diperhatiin ya, pokoknya nggak ada pengulangan," tegas Dariel. Alana mengangguk setuju, kini ia benar-benar fokus dengan apa yang Dariel ucapkan dan ajarkan padanya.

Tangan Alana mulai mencoret-coret kertas yang memang dia sediakan untuk berhitung. Setelah itu meminta Dariel untuk mencocokkan dengan jawabannya, hanya memastikan benar atau tidak. Kalau tidak, Alana harus menghitung lagi sampai benar.

Terkadang Dariel berbaik hati membocorkan jawabannya secara cuma-cuma untuk Alana, jika waktunya memang sudah mepet sekali.

"Akhirnya selesai juga," ucap Alana. Hilmi dan Karina mencolek-colek pundak Alana, berharap Alana memberitahukan pada mereka jawabannya.

Alana menoleh ke belakang dengan pandangan songongnya. "Butuh apaan? Jawaban?"

"Dih, songong banget," cibir Karina.

"Hehe ... nggak kok bercanda sayangku, lo udah sampai nomor berapa?"

"Nomor tujuh jawabannya ini, bener nggak?" tanya Hilmi, mencocokkan hasil kerjasamanya dengan Karina dengan jawaban Alana.

Buku Harian Alana [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang