Bi Lasti kembali menyerka air matanya, melihat anak dari almarhum majikannya terduduk didepan laptop yang mati. Bi Lasti kemudian mendekat.
"Non ayo makan, dari kemarin non belum makan kan?" tanya bi Lasti membuat Carra mengalihkan tatapanya, Carra menampilkan senyum kecilnya demi menghargai bi Lasti, "bibi mohon non, non Carra jangan seperti ini." Kembali air mata bi Lasti keluar.
"Seperti gimana bi? Carra gak apa-apa ko, oh iya, Agam udah dateng belum?" tanya lagi Carra. Bi Lasti menggeleng tanpa menjawab. Carra kemudian mengangguk.
"Yaudah ayo kita makan, tapi bibi maukan nemenin?" tanya Carra membuat bi Lasti segera mengangguk cepat. Mereka kemudian keluar dari ruangan itu menuju meja makan.
"Bibi masak banyak, dimakan semua yah," ucap bi Lasti yang menyodorkan semua masakanya, tidak lupa air mata yang ia serka. Carra menatap semua makanan itu.
"Bibi serius, semuanya. Hm, bibi gak tau yah kalau lambung aku kecil," Carra mencoba mencairkan suasana, masalahnya bi Lasti gak berhenti nangis, meski ya tidak mengeluarkan suara.
Bi Lasti mengangguk. Kemudian terdengar suara bel rumah, cepat-cepat bi Lasti membukanya.
"Den Agam, ayo masuk non Carra lagi makan," ucap bi Lasti yang tersenyum pada Agam. Agam membalas senyuman bi Lasti kemudian menghampiri Carra. Terlihat Carra menuangkan air minum kenasinya dan itu membuat Agam terhenyak.
"Kenapa makanya kayak gitu?" tanya Agam melihat Carra menyuapkan nasi denan kuah air putih itu.
"Gapapa, ayo ikut makan," jawab Carra dengan senyuman kecilnya. Ia memang masih belum pulih dari keterpurukanya.
"Bentar lagi aku UN, kita belajar bersama yah," pinta Agam membuat Carra mengangguk.
"Boleh, hm, rencananya kamu mau kuliah dimana?" tanya Carra yang kembali menyuapkan nasinya.
"Di UI ajahlah, biar agak deketan. Lagian papah juga lulusan UI," jawab Agam, Carra mengangguk ia sudah selesai makan.
"Kita jadikan nganterin kak Glenca?" tanya Carra. Yah Glenca akan kembali ke newyork hari ini, dan secara khusus Glenca meminta Cara ikut mengantarkan.
"Jadi lah, dari tadi pagi dia nanyai terus, kamu jadi ikut apa nggak," jawab Agam yang sedikit kesal. Glenca sepertinya sangat menyukai Carra, yah karna mereka jadi semakin dekat.
"Masa sih, kak Glenca kayaknya ngefans banget yah sama aku," ucap Carra diselingi kerlingan kesal dari Agam. Mereka kemudian keluar dari rumah itu.
"Oh iya Yang, kemarin aku dapet kiriman ini," ucap Agam yang mengambil sebuah kotak kecil dari kantung celananya. Kemudian menujukanya pada Carra, "Isinya surat aneh," lanjut Agam, Carra kemudian membuka kotak kecil itu dan benar ada surat yang dilipat.
'Jika memang harus mati, makan tunggu saja'
Isi surat itu membuat Carra menyernyit, "Ini maksudnya apa?" tanya Carra membuat Agam mengedikan bahunya.
"Itu dia aku juga gak ngerti, ini tiba-tiba ada di loker aku dikelas," jawab Agam, Carra kembali membolak-balikan kotak itu.
"Orang isengkah," gumam Carra yang masih bisa Agam dengar, Agam tidak menyahut ia masih fokus kejalanan.
**
"Makasih yah Carramel udah dateng," Glenca memeluk Carra dengan antusias, dia sangat menyukai Carra. Dia sudah menganggap Carra adiknya sendiri apalagi ia melihat bagaimana rapuhnya Carra saat ibunya dimakamkan. Perasaan Carra saat itu adalah perasaannya dulu saat ibunya juga meninggal.
Jadi dia sangat menyayangi Carra karna merasakan hal yang sama.
"Hati-hati yah ka, "balas Carra yang melepaskan pelukan itu. Glenca mengangguk, mereka kemudian menunggu beberapa saat kemudian suara panggilan terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ice Girls [END]
RomanceAgam Aldridge : Dia itu cantik, tapi nolak mulu, ucapannya selalu kasar, selalu menghindar. Carramel Skriver : Dia itu Ribet. Ditulis tanggal 21 Maret 2018 Selesai tanggal 20 Oktober 2019