Fayra POV
Hampir satu dekade aku tidak melihatnya lagi. Wajahnya masih tetap sama. Masih seputih dan sepucat dulu, seakan yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah, melainkan air es. Jeyar Nevandria. Aku masih mengingat namanya. Dan segala sesuatu tentangnya. Dari dulu, hingga sekarang. Tidak, aku bukan penguntit. Aku hanya sedikit lebih tahu tentangnya. Itu saja. Aku rasa dia tidak mengingatku lagi. Buktinya, beberapa minggu kedatangannya kembali ke kota ini, ia tidak terlihat sekalipun mencariku. Atau mungkin kenangan kita dahulu terlalu kecil untuk diingat olehnya. Apalagi waktu itu kami masih terlalu bocah. Usiaku dengannya hanya berbeda satu tahun.
Kemarin, ketika pulang dari latihan theater, aku dihadang oleh dua orang kakak kelas yang sejak pertama masuk sekolah sudah membenciku tanpa kutahu jelas alasannya apa. Waktu itu aku tidak tahu apa-apa, ketika selesai latihan, masih lengkap dengan kostum seragam smp, sebelum pulang aku pergi ke ruang siaran untuk mengambil kunci motorku yang tertinggal di sana. Namun, dengan kemunculanku itu, membuat Bu Hara yang terkenal killer yang sedang sibuk dengan laptopnya menoleh padaku-- beliau adalah guru pengajar di ruang siaran. Kegiatan di ruang siaran sudah selesai sejak setengah jam yang lalu. Tapi kulihat ada dua orang kakak kelas yang kutahu bukan anggota penyiar sedang melakukan adegan yang tidak semestinya di pojok ruangan, ditambah keduanya adalah perempuan. Sontak hal itu membut Bu Hara menyadari dengan adanya keberadaan mereka. Lebih gilanya, kenapa mereka melakukannya di tempat itu? yang ada guru killernya pula. Astaga. Apa dajjal sebentar lagi akan datang?
Begitulah kejadiannya hingga aku dihadang di jalan sempit yang jarang kulewati itu. Aku memilih jalan itu hanya ketika aku tidak sedang menggunakan motor atau sepedaku alias jalan kaki saja. Aku tidak menyangka di jalan itu aku bisa bertemu dengan kak Jeyar lagi. Jalan sempit itu juga tempat dimana kali pertama aku bertemu dengannya dulu.
Waktu itu, kejadiannya juga sama persis dengan apa yang kualami kemarin sore. Dulu, aku baru pulang dari pesta ulang tahun temanku. Saat itu aku baru kelas 1 sd. Awalnya aku pulang bertiga dengan temanku. Tapi saat hendak menuju jalan sempit itu, kami berpisah. Hanya aku yang sendirian lewat jalan itu. Tadinya aku takut, tapi kuberanikan diri sambil bernyanyi sepanjang jalan. Tiba-tiba sebuah bola sepak terlempar kearahku menghentikan langkahku. Dua anak laki-laki bertubuh besar menghampiriku. Satunya merampas bingkisan yang ada ditanganku, dan seorang lagi mendorongku lalu menendangi perutku begitu saja. Aku kesakitan dan hanya bisa menangis saat itu. Tapi, tak berapa lama, seorang anak laki-laki bertopi baret datang sambil membawa papan skateboard ditangannya. Ia menolongku dengan memukuli dua anak bertubuh besar itu dengan papan skateboardnya. Setelah menolongku ia hanya mengatakan kalimat yang sama persis dikatakannya waktu itu 'jangan lewat jalan ini lagi'. Setelah mengatakannya ia berlalu begitu saja dengan menaiki skatboardnya.
Besoknya, aku kembali lewat jalan itu dengan berharap aku bisa kembali bertemu dengannya. Berhari hari aku sering lewat jalan itu, tapi tidak pernah bertemu dengannya lagi. Sampai akhirnya, dibulan kedua aku bertemu dengannya kembali. Kami berpapasan. Ia melewatiku tanpa menyapaku. Selanjutnya, semua bermula dari keberanianku untuk mengetahui siapa dia hingga berujung kami menjadi teman akrab. Tapi itu tidak berlangsung lama karena ia akan segera pindah mengikuti orangtuanya. Dan disaat terakhir itulah aku baru tahu kalau dia sebenarnya perempuan.
Sekarang, aku berusaha mencoba mencari semua akun sosmednya di medsos, tapi tidak kutemukan. Masa iya kak Jeyar tidak menggunakan sosmed dizaman modern begini. Aku harap besok aku bisa bertemu dengannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything is nothing [Completed]
Teen FictionAku.. ingin akhir yang bahagia. copyright© ringjump/votavato 2019 All Right Reserved