✔️2. Rumah

618 53 1
                                    

"Astagfirullahaladzim! Fayra! Kamu kenapa!?" Kahar melempar begitu saja buku yang tadi hendak dibacanya. Bagaimana tidak, ia melihat anak semata wayangnya pulang dalam keadaan kacau.

"A-Ayah?" Fayra sama terkejutnya karena ia pikir Kahar belum pulang dari kantor. Tadinya ia ingin menyembunyikan hal ini.

"Apa yang terjadi, Nak? Bilang sama ayah." tanya Kahar sambil memeriksa tubuh anaknya dari atas sampai bawah dari depan dan belakang. Meskipun tidak ada luka yang serius, namun tetap saja noda noda yang menempel di kepala dan wajah hingga ke seragamnya membuat Kahar khawatir.

"Fay nggak apa-apa kok, Yah. Fay tadi cuma jatuh doang." sahut Fayra meyakinkan. "Fay ke kamar dulu, ya. Mau mandi, nanti Fay keluar lagi."

Kahar mengelus wajah putrinya dengan penuh kasih. Menatapnya penuh perasaan sayang yang sangat besar. "Jangan pernah sembunyikan apapun dari ayah, Fayra. Apapun yang mengganggu Fayra, ayah harus tahu."

"Iya, ayah. Fay tadi cuma jatuh doang, kok, pas mau ambil buah jambu di pinggir jalan itu, sumpah." ujar Fayra meyakinkan sekali lagi.

"Lagi?"

Fayra mengangguk. "Ayah kan tahu sendiri aku nggak pandai manjat."

"Yaialah, kamu kan anak ayah bukan anak monyet. Yasudah, kamu mandi dulu sana!"

"Okey!" sahut Fayra dengan berlari kecil menuju kamarnya.

____________
_____________________
__________________________________

Jeyar terhenti langkahnya ketika mendapati mobil kedua orangtuanya terparkir di halaman. Ia tidak mungkin masuk dalam keadaan kacau begini. Dengan mengendap ia berjalan melewati jalan yang ada di samping rumah. Niatnya untuk tidak terlihat pupus sudah ketika mamanya mengampiri sambil membawa setumpuk jemuran di tangan kiri.

Sebelum bicara, Kara menghela napasnya. "Kenapa lagi, Jey? Bukannya kamu sudah janji?" tanya Kara sambil mengelap perlahan darah yang masih keluar di rahang Jeyar.

Jeyar menggeleng pelan. "Bukan Jeyar, Ma. Jeyar bahkan nggak ngelawan." sahut Jeyar pelan dengan kepala menunduk.

"Masuk. Biar mama obatin. Sekalian ada yang mau papa sama mama omongin ke kamu." Jeyar mengangguk perlahan. Lalu dengan gontai langkahnya masuk ke pintu samping rumah.

"Jeyar?!" seru Rafa ketika melihat anaknya yang terduduk di bangku meja makan dalam keadaan wajah penuh luka dan memar di beberapa bagian tubuh lainnya.

Kara yang sedang memindahkan makanan ke piring menyahut. "Jangan emosi dulu, Pah. Dengerin penjelasannya."


(skip)
Tigapuluh menit berlalu.

"Tapi nanti kalau aku di sekolahnya Papa, aku nggak mau ada yang tahu kalau aku anaknya Papa."

"Kenapa? Kamu malu?"

"Bukan gitu maksudnya, Pa."

"Iya, papa ngerti maksud kamu. Tapi kamu jangan lupa sama janji kamu, ya. Jangan berantem lagi. Jangan buat masalah. Papa nggak masalah kamu mau setomboy apa, tapi harus tetap ingat kalau kamu itu tetap anak perempuannya papa, Jeyar."

Jeyar mengangguk paham.

Sepintas lewat dalam ingatan Jeyar teringat dengan anak smp yang dirisak sore tadi. Ia tidak tahu wajahnya, sebab terhalang rambut panjangnya karena menunduk. Detik berikutnya, Jeyar menggedikan bahu untuk tidak terlalu mengingat kejadian hari ini dan lantas beranjak ke kamarnya.

__________
____________________________

Everything is nothing [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang