23~Pasar malam~

25 10 1
                                    

Malam ini Sean memilih mengajak Radiz untuk pergi ke pasar malam, ia ingin Radiz merasa nyaman dan aman saat bersamanya. Ia tak mau membuat Radiz sakit hati lagi, cukup masalah dengan ibunya saja,ia tak mau menambah beban lagi pada gadis itu.

Sean:
Cepet siap-siap gue tunggu 5 menit di bawah.

Pesan itu berhasil membuat Radiz terkejut. Ia segera bersiap-siap karena tak mau membuat pengiriman pesan itu menungggu lama.

Kini ia sudah siap dengan t-shirts hitam dipadukan dengan jeans dan tas Selempang hitam beserta dengan sneakers putih. Ia segera turun untuk menuju ke pengirim itu berada.

"Maaf udah nungguin lama". Ucap Radiz.

"Nggak, lagian gue juga baru Dateng". Bohong Sean. Ia sebenarnya sudah datang sejak 30 menit yang lalu, tapi tak sengaja mendengar suara isak tangis seseorang yang ia yakin itu Radiz.

Kini Sean tengah memakai kaos oblong putih dengan jaket hitam berpadu dengan celana jeans hitam dan sneakers putih bergradasi merah.

"Ayo naik, nanti keburu malem". Sean menyuruh Radiz untuk memasuki mobilnya.

Aroma mobil yang berbau khas dengan parfum manis dan manly milik Sean kini tengah menusuk di Indra penciuman Radiz. Ia sangat suka dan tenang apabila mencium aroma itu.

Kini mereka tengah berada di dalam mobil hitam milik Sean. Keheningan menyelimuti mereka berdua. Tak ada obrolan atau kalimat yang tercipta dari mereka berdua.

"Maaf sekali lagi". Sean memecah keheningan itu.

"Buat apa?" Tanya Radiz pura-pura tak tau.

"Buat tadi karena gue udah ngelukain Lo di sekolah. Gue tadi nggak bermaksud gitu, cuma saat tadi Zeva emang butuh gue". Jelas Sean

"Iya gpp, lagian kan emang dia butuh Lo disana. Dan gue udah maafin semua kok". Balas Radiz dengan berat hati.

"Kenapa sih Lo selalu bohong sama gue, gue tau saat ini Lo masih belum bisa maafin gue dan Lo juga nggak terima kalau gue disana sama zeva. Lo tuh bener bener cewek baik". Gumam sean dalam hati kecilnya.

"Yuk turun udah sampe". Ajak Sean

"Pasar malem?" Tanya Radiz Bingung.

"Iya, kenapa Lo nggak suka ya, yaudah kalau gitu kita balik aja". Cemberut Sean.

"Buka,bukan, bukan gitu maksud gue. Gue suka banget kesini karena emang udah lama gue nggak kesini". Keceriaan tumbuh di bibir Radiz. Ia memang susah tak tak kesini, terkahir kali ketika dia bersama ibunya untuk membeli boneka sapi.

"Kita naik itu yuk". Radiz menunjuk ke arah biang Lala.

"Ok, Lo tunggu sini dulu gue mau beli Tiket dulu".

"Ok".

Setelah membeli tiket mereka berjalan menuju ke tempat Dimana biang Lala berada.

"Pemandangannya indah banget ya, banyak gedung gedung tinggi, langit-langit nya juga kelihatan Deket banget". Hari Radiz kini tengah bahagia.

"Iya, tapi lebih indah ngelihat kamu". Gombal Sean menatap Radiz

"Apaan sih gombal deh, nggak mempan tau". Balas Radiz.

Sean senang melihat senyum Radiz mengembang lagi. Ia sangat rindu dengan senyuman itu. Ia sudah lama tidak melihat senyum Radiz mengembang seperti ini.

"Mau main apa lagi?" Tawar Sean
"Itu". Radiz menunjuk sebuah permainan. Dimana kita harus melemparkan bola ke dalam wadah tersebut.

"Mau itu?" Tanya Sean, yang hanya dibalas anggukan dari Radiz.

"Ok".

Setelah menghabiskan 5 bola, akhirnya Sean berhasil mendapatkan boneka berbentuk sapi itu. Ia berikan boneka itu kepada Radi sesuai dengan keinginannya.

"Nih buat kamu". Sean memberikan boneka itu pada Radiz.

"Makasih". Senyuman itu kembali terbentuk.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 malam, artinya mereka sudah menghabiskan waktu selama 3 jam di pasar malam itu.

"Yuk pulang udah malem".

"Yaudah yuk".

Di dalam mobil kembali hening habay ada suara hembusan AC mobil. Tak ada diantara mereka yang membuka obrolan terlebih dahulu.

"Lo seneng pasar malam?" Tanya Sean membuka pembicaraan.

"Seneng, kenapa emang?". Tanya Radiz.

"Nggak apa-apa, tadi gue lihat Lo kayak udah lama nggak ke pasar malem". Jawab Sean lembut.

"Oh, ya emang sih gue udah lama nggak kesini, lagian juga nggak ada waktu, jadi ya gue sekarang jarang kesini". Jawab Radiz

"Lo kalau ke pasar malem pasti sama orang tua Lo, iya kan". Tebak Sean.

"Ya, gitu deh". Jawab Radiz tak bersemangat.

20 menit berlalu, kini mobil Sean berhenti di semua istana mewah bernuansa putih dengan pagar besar berwarna hitam.

"Makasih ya udah ngajak gue ke pasar malem tadi, gue seneng banget". Ucap Radiz.

"Iya sama-sama gue juga seneng kalau Lo seneng. Yaudah gue Pamit dulu ya". Sean membalasnya lalu berpamitan untuk pulang.

Mobil hitam itu kini tak lagi terlihat di pekarangan besar rumah itu. Kini hanya menampilkan sunyi dan sepi di rumah itu. Rumah yang megah dan mewah namun tak ada kehangatan disana.

Radiz pergi untuk menuju ke dalam kamarnya. Ruangan yang menjadi saksi bisu disaat iya terluka. Hanya ruangan itu yang setia menemaninya.

Ia mengambil secarik kertas putih diatas meja belajarnya, lalu ia menuangkan isi hatinya pada kertas itu. Ia mulai menuliskan bait-bait puisi indah.

Di sudut ruang aku sendiri
Menatap ruang kian sepi
Tanpa cahaya menyinari
Tanpa hati yang terisi

Ku ingat sepintas memori
Yang pernah ku alami
Hari yang pernah ku lalui
Luka yang pernah ku jalani

By:~Radizza Z.H~

Kata kata indah yang sangat ia sukai dia susun pada puisi-puisi miliknya. Ia sangat suka menuliskan puisi puisi itu ketika ia terluka atau rindu. Hanya kertas itu yang bisa membuat Radiz merasa lega akan bebannya.

Selama ini Radiz tak pernah cerita hidupnya kepada siapapun bahkan sahabatnya sekalipun. Ia lebih suka jika hanya dia yang merasakannya dan mengetahuinya. Selain itu yang tau Kisha hidupnya selama ini adalah secarik kertas yang berisikan bait-bait puisi indah yang ia tulis. Memang Radiz adalah gadis penyuka puisi.

Ia sangat suka pada bait-bait itu ketika umurnya menginjak usia 9 tahun. Ia sering melakukan itu ketika ia terluka atau rindu pada seseorang. Ia tak pernah cerita kepada siapapun akan kisah pahit hidupnya. Ia berfikir bahwa jika ia bercerita kepada semua orang maka semua orang pasti akan mengasihi dia dan pastinya itu akan menjadi beban semua orang. Ia hanya tak mau beban yang ia rasakan harus dirasakan oleh orang lain juga. Cukup dia yang merasakannya pahitnya hidup. Orang lain tak perlu merasakan hal yang sama dengan Radiz.

Hidup yang penuh lika-liku, perjalanan yang tak mudah dilalui, namun Radiz selalu percaya bahwa dibalik tragedi pasti ada moral yang bisa diambil.

D'radizza [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang