8~Ungkapan~

63 16 1
                                    

Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Sean merasa memiliki tanggung jawab pada Radiz, ia tak mau perempuan itu mengalami kejadian itu.

Mentari pagi menembus korden hitam milik Sean, sadar akan kedatangan matahari Sean segera bangkit dari kasur king size miliknya.

"Pagi mbok, Mbok lagi ngapain?" Tanya Sean pada Mbok Jum.

"Ini se, Mbok lagi cuci piring, cuciannya numpuk." Jawab Mbok Darmi sembari mencuci piring.

"Oh, yaudah Mbok kalau gitu Sean Pamit dulu ya, mau berangkat sekolah." Pamit Sean sambil mencium tangan Mbok Jum.

"Hati-hati se, jangan ngebut." Pesan Mbok Jum pada Sean yang sudah dianggapnya sebagai anaknya.

Motor spor hitam milik Sean mulai meninggalkan rumah bernuansa hitam. Motor itu mulai membelah padatnya jalan Jakarta. Tak lupa ia menjemput Radiz terlebih dahulu.

"Permisi... assalamualaikum...!" Tak ada jawaban dari pemilik rumah. Tak sengaja iya memegang pintu ternyata pintu tak dikunci. Dengan segera Sean memasuki rumah tersebut.

Mewah itulah yang dirasakan Sean saat pertama memasuki rumah tersebut. Ia memandangi sekitar, hingga terpaku pada sosok perempuan yang tengah memeluk anaknya. Ia melihat foto tersebut, itu adalah Radiz yang masih berumur 3 tahun yang tengah dipeluk oleh mamanya.

"Sean." Panggil Radiz dari belakang.

"Diz, maaf aku nggak bermaksud lancang. Aku tadi cuma nggak sengaja ngelihat foto itu." Ucap Sean dengan terkejut.

"Iya gpp kok. Btw kamu ngapain kesini?" Tanya Radiz lembut.

"Aku mau jemput kamu." Singkat Sean.

"Oh, sebenarnya nggak perlu jemput juga, lagian aku bisa naik mobil sendiri kok." Jelas Radiz.

Sean pergi begitu saja, ia mengarah keluar menuju montornya.

"Naik." Ucap Sean singkat.

"Nggak usah kamu duluan aja, aku bisa naik mobil kok ." Tolak lembut Radiz tak mau merepotkan Sean.

"Gue nggak terima penolakan." Cetus Sean.

Radiz tak mau membuat Sean Semakin marah. Ia takut jika sudah melihat Sean seperti itu. Bagaikan 'monster' yang mau melahap Radiz.

15 menit berlalu. Mereka telah sampai di Sekolah. Sean lantas mengantarkan Radiz ke dalam kelasnya.

"Makasih,sean." Ucap Radiz sambil tersenyum.

"Sama-sama. Gue suka Lo senyum. Tetep senyum buat gue." Jawab Sean berbisik pada Radiz.

Radiz terpaku, tubuhnya menegang. Antara senang dan kaget bercampur menjadi satu.

"DIZ.. RADIZ..OH RADIZ... GUE PINJEM BUKU MATEMATIKA DONG, GUE BELUM NGERJAIN NIH..PLISSSSS." Teriak Natella sambil berlari kecil menuju meja Radiz.

"Eh toa, Lo bisa nggak sih nggak usah teriak-teriak, sakit nih gendang telinga gue. Nggak sadar apa suara Lo itu kayak teriakan paus." Adrea ketua kelas XII-IPA 3 Teriak pada Natella.

"Iya iya maaf kan aku cuma mau pinjem buku." Jawab Natella sambil meringis.

"La, Lo nggak perlu juga kali teriak-teriak kayak tadi, kasian mereka telinganya sakit. Lo kan bisa ngomong Pelan-pelan." Radiz mengingatkan Natella sambil memberi bukunya.

"Iya iya, makasih Radiz,makin sayang deh kalau gini." Natella pergi meninggalkan bangku Radiz.

**********

Di sisi lain. Sean masih setia dengan buku dihadapannya, namun ia tak bisa terfokus pada bukunya. Ia memikirkan foto yang tadi tak sengaja ia lihat. Foto tadi sungguh membuat Sean gila.

"Eh se Lo lagi mikirin apaan sih, diem aja?" Tanya aksa pada Sean.

"Jangan diem Mulu sawan Lo ntar." Goda axel dengan menunjuk satu jarinya.

"Gpp." Jawab Sean dengan muka datar.

Jika sudah seperti ini mereka tak bisa terus bertanya pada Sean. Ia tahu jika Sean memanglah anak Broken home. Ia tak mau menambahkan rasa sedih pada hidup sean.

Pukul 15.00. Sean melirik Jan tangan hitam yang melingkar di tangan kirinya. Ia merapikan semua bukunya lalu pergi ke arah kelas Radiz.

"Pulang bareng gue." Ketus Sean.

"Tapi gue udah bareng Cecil sama Natella se." Tolak Radiz.

"Gue nggak terima penolakan." Jawab Sean sambil memegang pergelangan tangan Radiz.

Dengan terpaksa Radiz mengikuti apa kata Sean. Ia hanya tidak mau membuat cowok di Depannya itu sedih. Dan hanya untuk mempercepat waktu.

Tiba-tiba saja hujan deras mengguyur memaksa mereka untuk berteduh di halte bus.
Hujan semakin deras mengguyur kota Jakarta.

"Lo mau kan jadi pacar gue." Tiba-tiba saja Sean menangkup kedua pipi Radiz .

Seketika tubuh Radiz membeku, ia bisa merasakan nafas hangat milik Sean dan aroma parfum yang sangat ia suka selama ini.

"I..iy...iya gue mau jadi pacar Lo." Bukan suatu kebohongan lagi bahwa Radiz juga suka pada cowok itu pada saat pertama kali bertemu. Tak mungkin ia menyia-nyiakan cowok sebaik Sean.

Hujan semakin reda, Sean tak mau berlama-lama di halte tersebut. Ia mengantarkan Radiz pulang kerumahnya. Motor sport hitam milik Sean mulai membelah padatnya Jakarta.

Sepi, itulah yang Sean rasakan pada saat sampai pada rumah mewah bernuansa putih. Tak ada keramaian pada rumah tersebut. Posisi dan rumitnya hidup yang sama, itulah yang Sean dan Radiz rasakan.

D'radizza [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang